REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Partai Islam pemenang pemilu Tunisia, Ennahda, dan Oposisi gagal mencapai kesepakatan. Hal ini membuat upaya untuk mendapatkan kepala pemerintah baru bagi pemerintah sementara seperti menemui jalan buntu. Sehingga Tunisia tak juga bisa membentuk pemerintahan sementara untuk persiapan jelang pemilu.
Kepala serikat buruh UGTT, Houcine Abassi, mengatakan bahwa pihak yang terlibat pembicaraan tak bisa satu suara. Khususnya dalam memilih calon tunggal perdana menteri yang akan menjalankan pemerintah transisi. Oleh karena itu, ujar mediator utama dalam negosiasi tersebut, pembicaraan akan ditangguhkan sementara.
Kedua belah pihak melanjutkan negosiasi, dikutip dari Al Jazeera, Selasa (5/11), jika ada dasar kuat untuk melanjutkannya. Atas dasar itu, serikat bisa mengajukan sebuah nama jika kedua belah pihak tak juga memutuskan kepala pemerintahan.
Namun ia meyakini pembicaraan antara Ennahda dan koalisi mereka serta kelompok oposisi akan kembali dilanjutkan. Hal ini karena kedua belah pihak takkan membiarkan negara dalam kondisi tak stabil.
Ketua Partai Ennahda, Rached Ghannouchi juga mengatakan para pemimpin negara takkan membiarkan kebuntuan berjalan lama. Hanya saja oposisi menuduh Ennahda melakukan permainan politik. Oposisi yakin Ennahda sengaja mengulur waktu agar bisa tetap memegang kekuasaan. ''Ennahda ingin meninggalkan (kekuasaan) lewat pintu dan kembali masuk melalui jendela,'' tutur pemimpin partai oposisi, Hamma Hammami.
Kedua belah pihak sebelumnya bertemu kembali dalam rapat tertutup akhir pekan kemarin. Hanya, dialog berakhir tanpa ada hasil.
Ketegangan politik telah mencengkeram Tunisia sejak 2011. Berawal dari pemberontakan Arab Spring untuk menggulingkan Zine el Abidine Ben Ali hingga pembunuhan dua tokoh oposisi oleh kelompok Islam radikal tahun ini. Partai Ennahda, partai Islam yang mendapat mayoritas suara pun telah mengundurkan diri sesuai dengan permintaan Oposisi. Langkah ini dilakukan agar bisa terbentuk pemerintahan transisi.