REPUBLIKA.CO.ID, BIRZEIT -- Deklarasi Balfour dinilai hanya sebuah komoditas penderitaan yang diekspor dari Eropa ke Palestina yang dulu berada dalam otoritas Kekaisaran Utsmaniyah.
Hal itu diungkapkan Raed Bader, Profesor Sejarah Internasional Universitas Birzeit Palestina, dalam sebuah diskusi baru-baru ini yang diadakan oleh the Forced Migration and Refugee Unit at Birzeit University Ibrahim Abu-Lughod Institute of International Studie bekerja sama dengan Tawasol Forum Society di Nusseirat.
Dalam diskusi yang bertema 'Balfour Declaration and Its Impact on International Relations' Bader mengatakan, "Deklarasi itu merupakan bagian dari usaha untuk mengekspor konflik dari Eropa (termasuk Jerman dan Prancis) ke Kekaisaran Utmaniyah, negara 'the sick man of Europe' saat itu," katanya baru-baru ini, dilansir laman Universitas Birzeit.
Bader juga menguraikan beberapa perjanjian dan kesepakatan dunia saat itu yang diikuti oleh deklarasi Balfour. Menurutnya, semuanya bertujuan untuk memecah belah integrasi negara Utsmaniyah menjadi wilayah-wilayah kecil dalam pengaruh Eropa.
Akibatnya, lanjut Profesor ini, sejarah menyaksikan tumbuhnya wilayah-wilayah kolonial baru di wilayah Utsmaniyah dan Palestina merupakan salah satunya.
Bader menegaskan, periode tahun 1919 sampai 1929 merupakan momen penting di dunia.
"Ini mendorong pemimpin gerakan Zionis mendapat kesempatan dalam skala internasional," jelasnya.
Dengan Deklarasi Balfour dan Sykes-Picot Agreement, jelasnya, gerakan ini mendapatkan dukungan dan legalisasi sepihak pendirian negara Yahudi di tanah Palestina, di samping menggunakan pengaruh politik dan ekonomi anggotanya yang banyak menjadi elit politik dan konglomerat di berbagai negara Eropa.
Tahun 1922, menjadi tahun yang penting bagi gerakan Zionis, saat Liga Bangsa-bangsa mengizinkan Inggris bercokol di Palestina, melalui British Mandate, yang membuat Deklarasi Balfour teraplikasi menjadi sebuah komitmen legal masyarakat internasional terhadap Yahudi di dunia.