REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Polisi perbatasan Israel menembak mati seorang warga Palestina di pos pemeriksaan dekat Yerusalem. Begitu laporan dari polisi Israel dan para anggota keluarga korban mengenai penembakan fatal kedua oleh pasukan Israel itu dalam 12 jam.
Juru bicara kepolisian Micky Rosenfeld mengatakan insiden itu terjadi sekitar tengah malam pukul 05.00 WIB, ketika seorang berlari ke seorang polisi dengan membawa sebuah pisau, memicunya melepaskan tembakan.
"Seorang warga Palestina yang tiba di lokasi itu ke luar dari sebuah kendaraan menuju ke polisi perbatasan yang sedang berpatroli," kata Rosefeld.
"Warga Palestina itu membawa satu pisau di tangannya dan seorang personel polisi perbatasan menanggapi dengan melepaskan tembakan-tembakan yang mengakibatkan ia luka parah dan kemudian meninggal tidak lama setelah itu."
Para anggota keluarga mengatakan korban itu bernama Anas al-Atrash, 23 tahun dari kota Al Khalil, Tepi Barat dan mengatakan penembakan itu terjadi di pos pemeriksaan Wadi Nara antara Abu Dis dan Bethlehem.
"Mereka menghentikan dua anak saya di pos pemeriksaan itu dan mereka menunggu untuk diperiksa. Kemudian tentara datang ke mobil itu dan membuka pintu dan putra saya berusaha ke luar dan mereka menembak dia," kata ayahnya Fuad al-Atrash kepada AFP mengacu pada polisi perbatasan.
Pada Kamis (7/11) malam, pasukan Israel menembak mati seorang warga Palestina lainnya dekat kota Nablus Tepi Barat utara, dengan mengatakan ia menembak ke warga Israel di Persimpangan Tapuah.
Mayat pria yang bernama Bahar Habaneen, 29 tahun diserahkan kepada pihak Palestina oleh tentara Israel Jumat pagi, kata sumber-sumber keamanan Palestina.
Habaneen, dari desa Mirka adalah seorang pengajar di Universitas Tulkarem yang dikenal tidak miliki faksi politik atau kelompok garis keras. Pada Jumat (8/11) pagi, dua warga Israel cedera ringan akibat serangan bom molootov terhadap mobil mereka di permukiman Tekoa, kata militer Israel.
Aksi kekerasan itu terjadi saat perundingan perdamaian yang ditengahi Amerika Serikat, yang dimulai kembali Juli, tersendat-sendat, dan Menlu AS John Kerry berada di kawasan itu dalam usaha menghidupkan kembali perundingan itu.
Dalam satu wawancara dengan televisi Israel dan Palestina, Kamis Kerry memperingatkan bahwa kegagalan mencapai perdamaian dapat menimbulkan aksi kekerasan Palestina.
"Alternatif bagi gagalnya perundingan dapat menimbulkan kekacauan," katanya. "Saya maksudkan, apakah Israel menginginkan intifada ketiga?" tanya Kerry yang menggunakan kata-kata Arab bagi pemberontakan.