Ahad 10 Nov 2013 16:35 WIB

Rohani: Hak Nuklir Iran Adalah Harga Mati

Fasilitas nuklir Iran
Foto: telegraph.co.uk
Fasilitas nuklir Iran

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Presiden Iran Hassan Rohani mengatakan bahwa hak Teheran untuk pengayaan uranium adalah harga mati yang tidak bisa dinegosiasikan. Demikian media setempat melaporkan, Ahad (10/11).

Rohani juga menyatakan Republik Islam Iran telah bertindak rasional dan bijaksana dalam perundingan nuklir dengan sejumlah negara lain. "Kami telah menegaskan selama perundingan bahwa Iran tidak akan terpengaruh oleh setiap ancaman, sanksi, dan diskriminasi. Negara ini tidak akan tunduk pada ancaman dari pemerintah negara lain," kata dia saat berpidato di depan Majelis Nasional sebagaimana dikutip dari Kantor Berita ISNA.

"Bagi kami hak nuklir adalah garis merah yang tidak dapat dilanggar. Kepentingan nasional adalah harga mati yang di dalamnya termasuk pengayaan uranium di bawah kerangka kerja aturan internasional," tambah Rohani.

Pada Sabtu (9/11), Iran dan enam negara lainnya - Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Rusia, Cina, dan Inggris - gagal mencapai kesepakatan untuk menghentikan sementara program nuklir Teheran. Namun di sisi lain kedua belah pihak menyatakan bahwa perbedaan pandangan telah dipersempit dan sepakat akan melanjutkan kembali perundingan pada 10 hari ke depan untuk mengakhiri sengketa yang telah berlangsung selama puluhan tahun tersebut.

Rohani, yang terpilih sebagai presiden pada Juni lalu, adalah arsitek diplomasi Iran yang berusaha untuk mempengaruhi negara kuat agar mencabut sejumlah sanksi ekonomi yang memukul sektor perbankan dan minyak. Tim diplomasi Iran saat ini sedang mendorong kesepakatan kerangka kerja untuk menyelesaikan kecurigaan Amerika Serikat bahwa Teheran sedang mengembangkan persenjataan nuklir.

Iran telah berulangkali menyatakan bahwa aktivitas nuklirnya sepenuhnya bertujuan damai. Mereka menyatakan siap untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan jika negara-negara Barat mengakui hak mengembangkan teknologi atom dan mencabut sebagian sanksi ekonomi.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement