REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Perdana Menteri Ali Zeidan hari Ahad memperingatkan warga Libya mengenai kemungkinan campur tangan pasukan asing kecuali jika kekacauan yang terjadi di negaranya saat ini berhenti.
"Masyarakat internasional tidak bisa mentoleransi sebuah negara di tengah Mediteranea yang menjadi sumber kekerasan, terorisme dan pembunuhan," kata Zeidan pada pawai kampanyenya menentang milisi bersenjata.
Dengan mencontohkan Irak, ia memperingatkan penduduk Libya mengenai "campur tangan pasukan pendudukan asing" di Libya.
Zeidan mengatakan, negaranya masih terkena resolusi sesuai dengan Pasal VII Piagam PBB yang memungkinkan masyarakat internasional campur tangan untuk melindungi penduduk sipil.
Pada jumpa pers, Zeidan mendesak warga Libya bangkit menentang milisi bersenjata.
"Penduduk harus turun ke jalan... dan mendukung pembentukan militer dan polisi," kata PM tersebut.
Seruan permintaan dukungan dari penduduk itu mencerminkan ketidakmampuan pihak berwenang mengatasi milisi.
Pernyataannya itu disampaikan setelah serangkaian serangan mematikan di Tripoli dan Libya timur, khususnya Benghazi, selama sepekan terakhir, yang menandai berkembangnya keadaan tanpa hukum di negara itu setelah penggulingan Gaddafi.
Seorang perwira intelijen Libya tewas dalam ledakan bom mobil di Benghazi, Rabu (6/11), tiga hari setelah seorang rekannya mengalami nasib serupa.
"Perwira Abusif al-Mabruk tewas akibat luka-lukanya," beberapa jam setelah ledakan itu, kata juru bicara Rumah Sakit Al-Jala, Fadia al-Barghathi, kepada AFP.
Kolonel Abdallah al-Zaidi, seorang juru bicara pasukan keamanan, mengatakan, perwira intelijen angkatan darat yang berusia 44 tahun itu terluka parah ketika bom yang dipasang di mobilnya meledak di daerah Al-Berka di Benghazi.
Dalam insiden lain pada hari itu, Kolonel AD Issam al-Houidi cedera dalam usaha pembunuhan di dekat Derna sebelah timur Benghazi, kata kantor berita LANA, namun jiwanya tidak dalam bahaya.
Minggu (3/11), seorang perwira intelijen militer bernama Suleiman al-Fissi juga tewas ketika bom yang dipasang di mobilnya meledak.
Pemboman itu juga melukai serius istri dan kedua anaknya.
Benghazi, tempat lahirnya pemberontakan anti-pemerintah yang menggulingkan rejim Muamar Gaddafi, dilanda pemboman dan serangan-serangan terhadap aparat keamanan dan juga konvoi serta organisasi internasional dan beberapa misi Barat.
Pihak berwenang menyalahkan kelompok garis keras atas kekerasan itu.
Militan yang terkait dengan Al Qaida menyerang Konsulat AS di Benghazi yang menewaskan Duta Besar AS untuk Libya, Chris Stevens, dan tiga warga lain Amerika pada 11 September 2012.
Pemerintah baru Libya hingga kini masih berusaha mengatasi banyaknya individu bersenjata dan milisi yang memperoleh kekuatan selama konflik bersenjata yang menggulingkan Muamar Gaddafi.
Pemberontak yang menggulingkan Gaddafi dielu-elukan sebagai pahlawan karena mengakhiri kekuasaannya yang telah berlangsung selama lebih dari empat dasawarsa.
Namun, banyak dari mereka menolak tuntutan pemerintah untuk menyerahkan senjata atau bergabung dengan pasukan keamanan nasional, yang menimbulkan ancaman bagi stabilitas.
Pada Oktober, sebuah kelompok milisi menculik singkat Zeidan dari hotelnya di Tripoli.