Rabu 13 Nov 2013 06:12 WIB

Reuters dan Harta Kekayaan Ali Khamenei, Teori Konspirasi?

Sebuah patung (ilustrasi)
Foto: flickr.com
Sebuah patung (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Media Alarabiya, Selasa (12/11) menurunkan laporan yang sangat panjang mengenai dugaan harta kekayaan Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei yang mencapai 95 miliar USD.

Angka yang masif ini membuat putra Ayatollah Khomenei itu menjadi calon sentimiliarder yang patut diperhitungkan.

"Pemimpin Iran Ayatollah Ali Khamenei menguasai imperium bisnis senilai 95 miliar USD, sebuah jumlah yang melampaui nilai ekspor minyak negara itu dalam enam bulan, menurut investigasi Reuters," tulis AlArabiya, media yang dimiliki anggota keluarga Arab Saudi ini.

Namun dalam tulisan Reuters, investigasi tersebut tidak terkonfirmasi oleh pejabat di Iran maupun oleh Khamenei sendiri. Seperti halnya laporan daftar kekayaan Mullah di Iran oleh Forbes berjudul Millionaire Mullahs tahun 2003.

Kantor berita Reuters, yang sekarang bernama Thomson Reuters sejak tahun 2008, merupakan kantor berita bergengsi yang berpusat di Inggris.

The Thomson Corporation sebelum membeli Reuters, tahun 2004 telah menjual divisi medianya, Thomson Media group ke investor negara-negara Teluk, yang biasanya kebijakannya berlawanan dengan Iran, bernama Investcorp.

Reuters didirikan oleh Paul Julius Freiherr von Reuter, seorang warga Inggris kelahiran Yahudi Jerman.

Paul Julius Reuter merupakan konglomerat kesayangan Nasser al-Din Shah seorang Raja Persia, nama Iran dulu, dari Dinasti Qajar, hidup antara tahun 1830-1896.

Kesayangannya itu terlihat saat Raja Iran itu memberi konsesi kepada Reuter untuk mengurus monopoli sistem bea cukai di seluruh negara saat itu, tahun 1872.

George Nathaniel Curzon, seorang negarawan Inggris ternama saat itu menyebutnya, "Sebuah penyerahan paling komplit dan paling luar biasa, untuk seluruh sumber daya industri sebuah negara, ke tangan asing dari yang pernah diimpikan selama ini."

Para ulama dan kalangan nasionalis menolak pemberian konsesi itu beberapa waktu kemudian.

Namun prospek bisnis di Iran termasuk Kereta Api, Tembakau dan Minyak mengundang kedatangan konglomerat maupun negara asing. Negara ini pun mengalami gejolak periodik sampai sekarang yang semuanya berhubungan dengan sumber daya alam dan industri. 

Pertarungan antara warga dan pengusaha asing yang selalu berujung pada gejolak politik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement