REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pengadilan Mesir memerintahkan diakhirinya keadaan darurat, pada Selasa (12/11). Perintah itu dua hari menjelang jadwal dan tiga bulan setelah diberlakukan penanganan aksi unjuk rasa.
Keputusan itu disambut baik oleh sekutu lama Mesir, Amerika Serikat, yang menyuarakan satu catatan peringatan kepada pemerintah untuk menghormati hak semua warga Mesir. Peringatan itu dikeluarkan di tengah laporan bahwa pemerintah setempat akan menegakkan peraturan atas para pengunjuk rasa.
Kabinet menyatakan pihaknya akan menghormati keputusan itu tetapi akan menunggu sampai pemberitahuan resmi dari pengadilan sebelum memberlakukannya.
Keadaan darurat, yang disertai oleh jam malam, telah dijadwalkan akan dicabut pada Kamis (14/11). "Pemerintah akan memberlakukan keputusan pengadilan itu. Pemerintah menunggu naskah keputusan tersebut," satu pernyataan menyebutkan yang dikutip Rabu (13/11).
Presiden sementara, Adly Mansour, menyatakan keadaan darurat pada 14 Agustus karena kekerasan melanda Mesir setelah polisi membubarkan dua perkemahan protes besar yang didirikan para pendukung presiden terguling Mohammad Mursi.
Ratusan orang, sebagian besar para pendukung Mursi, terbunuh dalam bentrokan-bentrokan yang meletus selama penumpasan itu. Sementara para pengunjuk rasa di tempa lain di negara itu membalas dengan menyerang pasukan keamanan, tempat peribadatan, pusat bisnis, dan rumah warga.
Pengadilan tata usaha negara menyatakan dalam amar keputusannya, yang telah menolak seruan terhadap keadaan darurat, bahwa pihaknya mengakhiri pada Selasa berdasar pada kalkulasinya, kantor berita Mesir MENA melaporkan.
Kementerian Dalam Negeri dan pihak militer mengatakan mereka akan terus memberlakukan jam malam sampai mereka menerima pemberitahuan resmi. "Angkatan bersenjata secara resmi belum diberitahu tentang keputusan pengadilan itu, dan akan tetap memberlakukan jam malam dalam beberapa jam," katanya.