Rabu 20 Nov 2013 21:04 WIB

Mantan Dubes Australia: Maaf Adalah Pengakuan

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Dewi Mardiani
Mata-mata dan penyadapan arus data dan komunikasi (ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA.CO.ID
Mata-mata dan penyadapan arus data dan komunikasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Krisis politik antara Australia - Republik Indonesia (RI) dalam beberapa hari terakhir, bakal membawa kerugian bagi kedua negara. Meski begitu, mantan Duta Besar Australia untuk Indonesia, John McCarthy, mengatakan Australia tidak perlu meminta maaf.

Kata dia, permintaan maaf adalah bentuk pengakuan. Padahal penyadapan tersebut belum tentu benar. Perdana Menteri Australia Tony Abbot, dikatakannya, mesti berada di jalur diplomasi yang benar menjawab desakan Indonesia.

''Ada cara-cara lain dalam diplomasi selain maaf,'' kata dia, seperti dilansir the Australian, Rabu (20/11). McCarthy mengingatkan, Abbot tidak punya kesalahan diplomatik apa pun meski menolak menyatakan maaf.

Lebih jauh Mccarthy menjelaskan, desas-desus penyadapan adalah laporan media. Pemberitaan tersebut didasarkan pada laporan mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika (NSA) Edward Snowden. Snowden memberikan data aktivitas penyadapan dan dimuat di the Guardian, dan ditayangkan ABC News, pekan lalu.

Laporan itu mengatakan, adanya aktivitas intelijen Defence Signals Directorate (DSD) di Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Laporan mengatakan DSD menyadap komunikasi pribadi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga Ibu Negara Kristiani Herawati Yudhoyono. Selain itu sembilan pejabat tinggi negara juga disadap sejak 2009 silam.

Pemberitaan itu mendesak Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa memanggil pulang Dubes RI di Canberra. Menurut McCarthy , aktivitas intelijen adalah bagian dari program pertahanan milik negara. Hal tersebut dikatakannya, wajar di setiap-setiap negara. Persoalan itu tidak bisa diselesaikan antarpemerintah.

Canberra, kata dia, mestinya cukup menawarkan jaminan. ''Yang perlu dilakukan hanya memberi jaminan. Jika penyadapan itu ada, tidak akan terjadi di masa depan,'' ujarnya. Jaminan tersebut dikatakan dia, adalah cara lain menyelesaikan persoalan diplomatik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement