REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Bambang Noroyono
Kebutuhan dunia akan hukum internasional - konvensi, tentang kejahatan siber mengencang di Ibu Kota Seoul, Korea Selatan. Tercatat 90 negara, dan lebih dari 1.200 delegasi internasional setuju mengatakan perlunya 'pengekangan' terkait penggunaan internet.
Presiden Korsel Park Geun-hye mengatakan, kecanggihan tekonologi nirkabel telah menjadi bencana sekaligus berkah bagi global. ''Kita semua (internasional) menginginkan agar perkembangan internet dunia hanya untuk kemajuan ekonomi dan budaya dalam sejarah dunia,'' kata dia, saat membuka Seoul Confrense on Cyberspace (SCC - 2013) di Convention and Exhibition Centre (COEX) Seoul, Kamis (17/10).
Masyarakat global semakin 'candu' dengan perangkat internet. Di beberapa negara, Park mengatakan, jaringan nirkabel bahkan dijadikan kebutuhan mutlak. Menurut dia, internet dan jaringan adalah nyawa utama di negara maju dan berkembang. Park membanggakan kemajuan teknologi di negaranya.
Kata dia, roda pembangunan di Korsel menjadikan internet sebagai rantai penggerak utama. Persoalannya, kata dia, kebebasan penggunaan internet memberikan ruang penyalahgunaan. Hal tersebut membutuhkan regulasi penutup. Internasional, menurut dia, perlu bekerja sama terkait persoalan ini.
Kantor berita pemerintah setempat, Yonhap, Rabu (16/10) mengungkapkan, catatan kerugian Korsel akibat malpraktik internet, mencapai 900 miliar Won atau setara dengan 9,5 triliun Rupiah. Catatan itu rentang waktu lima tahun, antara 2009 sampai 2013.
Menteri Luar Negeri Korsel Yun Byung-se di forum serupa mengatakan, SCC - 2013 mengharapkan konklusi matang untuk kebutuhan internasional tentang bahaya kejahatan siber. Kata dia, perlunya kesepakatakan baru penggunaan internet bagi kemajuan masing-masing negara.Indonesia menyetujui pentingnya pengaturan tersebut.
Menlu Marty Natalegawa saat menyampaikan pidato mengatakan, Indonesia memerlukan adopsi hukum baru mengenai kejahatan siber. Meski belum mendapatkan dampak signifikan, tapi langkah pencegahan harus tetap dilakukan.Namun dia menegaskan, Indonesia akan menolak jika regulasi tersebut dijadikan hambatan untuk mengejar ketertinggalan satu negara. Apalagi menghambat kemauan keterbukaan informasi dalam berdemokrasi.
Termasuk diantaranya jika persoalan siber dijadikan ancaman peperangan. Marty mengungkapkan, bahkan di beberapa negara maju sudah menyiapkan militer siber. ''Kita (Indonesia) berharap ini bukan untuk memberi kesenjangan antara negara maju dan negara-negara lainnya. Apalagi sampai menimbulkan peperangan (penghancuran lewat jaringan),'' kata dia.