REPUBLIKA.CO.ID, Bayangkan, anda berada di kamar operasi tanpa alat apapun dan ditemani lilin. Hal itu bisa saja terjadi jika kota anda mengalami krisis listrik parah. Namun hal itu benar-benar bisa terjadi di Gaza, Palestina. Sudah hampir tiga pekan lampu tak menyala sepanjang 24 jam di kamar warga Gaza.
Akibat kekurangan bahan bakar, pemerintah terpaksa menutup pembangkit listrik di Gaza. Hal ini menyebabkan rakyat hanya mampu menualahkan listrik selama enam jam, itu pun dengan genset.
Ahli independen dari PBB, pun menyerukan harus dilakukan tindakan segera untuk menghindari bencana kemanusiaan di Jalur Gaza. Ia menyebut bencana kemanusiaan, karena krisis ini menyebabkan gangguan layanan kesehatan. Salah satu anggota tim ahli, Richard Falk, mengatakan situasi di Gaza benar-benar berada di titik bencana.
Ia mengatakan kekurangan bahan bakar yang menyebabkan pemadaman listrik telah merusak infrastruktur. Bahkan menganggu pelayanan dasar, termasuk kesehatan, air dan sanitasi. Apalagi sebentar lagi wilayah Gaza dan sekitarnya akan memasuki musim dingin. Tak heran situasi akan menjadi lebih buruk dari saat ini.
Ia mencatat kekurangan litrik di Gaza yang mencapai setengah dari kebutuhan normal menyebabkan gangguan terhadap pelayanan kesehatan khusus. Hal tersebut seperti proses cuci darah, operasi, Bank Darah, Unit Perawatan Intensif (ICU) dan inkubator.
Ia pun juga menyoroti nasib pasien di Gaza yang tak bisa mendapat perawatan khusus dengan biaya murah di Mesir. Hal ini, menurut Jerusalem Post, terjadi karena Mesir menutup perbatasan Rafah dalam beberapa pekan terakhir.
Sementara itu Pemerintah Israel, secara terbuka telah mengeluarkan izin untuk warga Gaza yang membutuhkan perawatan khusus. Hanya, biaya perawatan yang mahal di Israel membuat pasien Gaza mengurungkan niat ke sana.