REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perang saudara di Suriah menyeret generasi baru negeri itu ke dalam peradaban dunia yang kian rusak. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengatakan, saat ini tercatat lebih dari dua juta korban peperangan di Suriah adalah anak. Mereka dikatakan di bawah umur orang dewasa.
Hal tersebut, menurut Komisaris Tinggi Badan Pengungsian PBB (UNHCR), Antonio Guterres, menunjukkan eskalasi di Suriah tidak mengindahkan tekanan internasional tentang jaminan masa depan generasi tanpa peperangan. ''Anak-anak ini menghadapi bahaya serius. Dari dalam negeri (Suriah) maupun di pengungsian,'' kata Guterres, seperti dilansir BBC News, Jumat (29/11).
UNHCR merilis laporan ternayar tentang kondisi anak-anak korban kengototan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad dan kelompok pemberontak untuk melakukan gencatan senjata dan sertuju damai. Dalam laporan itu dikatakan, anak-anak Suriah mengalami mimpi buruk tentang masa depannya.
Guterres menjelaskan, banyak dari mereka yang terpaksa tidak melanjutkan pendidikannya. Sementara usia rata-rata mereka kebanyakan adalah anak berumur tujuh tahun. Ancaman fisik dan psikologi mereka pun dijelaskan Guterres mengalami degradasi. Jika di Suriah ketakutan dan kemelaratan jelas mengancam, kondisi di luar zona perang dan pengungsian juga tidak kalah mengerikan.
Dijelaskan, 385 ribu anak-anak Suriah di kamp Yordania, memilih bekerja. Mereka berumur belasan dan belum dikatakan dewasa. Bekerja menjadi pilihan sementara untuk menambahi keuangan keluarga. Sementara di Lebanon, setidaknya 200 ribu anak-anak Suriah juga mengalami nasib serupa.
Di Lebanon juga tercatat 781 bayi terlahir tanpa kejelasan nasib. Di Yodania, catatan kelahiran sulit untuk didata. ''Kepastian masa depan anak-anak ini semestinya ada,'' kata Guterres. PBB mendesak, agar internasional cepat bertindak menangani konflik di Suriah. ''Penyelesaian Suriah akan menjadikan anak-anak ini korban abadi paling mengerikan,'' ujarnya.