REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Anak-anak pengungsi Suriah harus membayar mahal akibat perang saudara yang memorakporandakan negara mereka. Demikian kata Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Jumat dalam laporan berisi pengakuan menyentuh beberapa anak yang terusir dari rumah mereka.
"Itu tidak mungkin dilupakan. Kalau diingat, rasanya seperti seseorang menusuk saya dengan pisau," kata Taha (15 tahun), yang menyaksikan tujuh mayat di dekat rumahnya di Suriah, kepada pewawancara dari badan pengungsi PBB (UNHCR).
Taha dan anak-anak pengungsi lain di Yordania dan Lebanon diwawancarai untuk laporan 60 halaman UNHCR. Laporan menyoroti trauma anak-anak tersebut akibat konflik yang telah menewaskan lebih dari 120 ribu orang.
Nama belakang anak-anak itu tidak disebutkan untuk melindungi mereka dan keluarga mereka.
"Adalah penting bahwa sisi manusia dari krisis pengungsi ini tidak dilupakan," kata Volker Turk, kepala perlindungan internasional UNHCR kepada wartawan di Jenewa.
"Dan jika anda melihat apa yang dihadapi anak-anak ini, mereka menggambarkan dengan sangat kuat krisis apa ini sebenarnya," katanya.
Menurut data PBB, sekitar separuh dari 2,2 juta lebih pengungsi Suriah merupakan anak-anak. Sementara negara-negara tetangga Suriah memperkirakan sekitar tiga juta warga Suriah sudah meninggalkan negara yang dilanda perang itu. Artinya sekitar 1,5 juta anak-anak Suriah hidup sebagai pengungsi.