Ahad 08 Dec 2013 16:00 WIB

Pengadilan Mesir Bebaskan Aktivis Perempuan Ikhwanul Muslimin

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Nidia Zuraya
Demonstran Ikhwanul Muslimin menggelar aksi demonstrasi menentang penggulingan Presiden Muhammad Mursi di halaman Masjid Rabaa Al Adawiya, Kairo, Mesir.
Foto: EPA/Khaled Elfiqi
Demonstran Ikhwanul Muslimin menggelar aksi demonstrasi menentang penggulingan Presiden Muhammad Mursi di halaman Masjid Rabaa Al Adawiya, Kairo, Mesir.

REPUBLIKA.CO.ID, ALEXANDRIA -- Pengadilan Tinggi di Provinsi Alexandria, Mesir membebaskan 14 aktivis perempuan Ikhwanul Muslimin (IM). Putusan pengadilan inkrah setelah Majelis Hakim mengevaluasi kekeliruan persidangan 21 tersangka terorisme beberapa pekan lalu.

Reuters melansir, putusan peradilan tingkat bawah memvonis 21 aktivis perempuan IM dengan penjara 11 tahun pada akhir bulan lalu. Tetapi, banding para tersangka membawa hasil bebas dan pengurangan hukuman bagi tersangka lain. ''Kami (Majelis Hakim), memberikan pengurangan dari semua putusan sebelumnya,'' kata Hakim Sharif Hafiz, Sabtu (8/12).

Hafiz mengatakan, semua tersangka dikatakan tidak punya bukti keterkaitan dengan aktivitas terorisme versi pemerintahan interim. Selain memberi kebebasan hukum ke 14 tersangka, tujuh aktivis lainnya hanya diganjar dengan hukuman percobaan selama tiga bulan. Akan tetapi, putusan tersebut kata dia masih terbuka upaya hukum lain.

Akhir November lalu, Pengadilan Pidana mengganjar hukuman maksimal terhadap 21 perempuan aktivis Islam di Kairo. Mereka dikatakan terlibat dalam kerusuhan dalam aksi protes terhadap pemerintahan Presiden sementara Adly Mansour. Demonstrasi yang semula damai waktu itu terjadi di Provinsi Alexandria pada 31 Oktober.

Aksi berujung rusuh itu, membawa para aktivis ke dalam penjara. Kepolisian menangkapi mereka lantaran membuat kerusuhan dan dituduh terlibat dalam aksi terorisme dan melawan pemerintahan sementara.

Dalam persidangan awal, para tersangka ini pun dituduh melakukan aksi premanisme dan gangguan keamanan.Para aktivis perempuan ini rata-rata berusia 18 sampai 20 tahun.  Mereka yang dewasa terancam 11 tahun penjara. Sedangkan mereka yang masih berusia 18 tahun ke bawah dikatakan belum dewasa dan divonis serupa dan dikurung dalam penjara anak sampai cukup umur menjalankan vonis.

Putusan itu mendapat banyak penentangan. Baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan Human Right Watch (HRW) Mesir menyatakan, pengadilan tersebut bias lantaran berakar dari aturan yang represif. Mesir pascakudeta 3 Juli mengundangkan aturan tentang larangan demonstrasi. Hal itu membawa semua pelaku unjuk rasa terintimidasi dengan hukuman pemerintah. Aturan itu dikata senjata ampuh menghentikan aksi dukungan terhadap Presiden terguling Muhammad Mursi.

Sejak Mursi dijungkalkan, kelompok IM memang tidak berhenti melakukan protes. Seorang terpidana bebas, Ola Alaa (18 tahun) mengatakan senang dengan putusan Pengadilan Tinggi. ''Inilah yang Tuhan berikan ke kami (para aktivis),'' ujar mahasiswa kedokteran ini.

Akan tetapi, kawan-kawannya yang lain, dikatakan dia, belum tuntas memperjuangkan kebebasan. Alaa merujuk pada tujuh kawan aktivis lainnya, yang masih dalam tiga bulan masa percobaan. BBC News melansir, Alaa bersama 13 aktivis perempuan lainnya saat pembacaan vonis Hakim Hafiz mengenakan terusan muslimah putih.

Kelompok perempuan ini melepaskan borgol dari pergelangan tangan sebagai simbol kebebasan. Aktivis perempuan Islamis ini pun berkampanye untuk kawan lainnya. Mereka juga menuliskan kata dalam bahasa Arab yang berarti ''Kebebasan'', pada telapak tangan masing-masing. ''Kebebasan untuk semua aktivis,'' ucap mereka saat mendengar putusan hakim.

Pengacara IM Ahmed al-Hamrawy mengatakan, upaya hukum membebaskan tujuh tersangka lainnya masih akan terus dilakukan. Kata dia, pengadilan tidak akan tirani jika memberikan kebebasan terhadap semua aktivis dan peserta demonstrasi. ''Bahkan di era (Presiden Husni) Mubarak pun masih ada moral,'' kata al-Hamrawy, Ahad (8/12).

Kata dia, perempuan dan pengadilan bukanlah tempat untuk para perempuan dan anak-anak. Sementara itu, di ibu kota Kairo, Mahkamah Agung Mesir, menunda persidangan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Pengadilan Tinggi atas kasus kerugian negara terhadap Mubarak, dan mantan Perdana Menteri Ahmed Zarif, juga mantan Menteri Dalam Negeri Habib al-Adly, Ahad (8/12).

Tiga terpidana ini, dipersidangan Pengadilan Tinggi divonis untuk membayar denda senilai 540 juta pound Mesir (LE), lantaran telah mensabotase layanan internet dan komunikasi nasional selama revolusi Mesir 2011 lalu. Egypt Independent mengatakan aksi pemutusan semua saluran komunikasi warga itu dianggap sebagai salah satu keputusan yang merusak perekonomian negara

sumber : Reuters/AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement