REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi
Semakin banyak cendekiawan di AS yang mendukung Palestina.
CONARKY — Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mendesak masyarakat dunia segera mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.
Desakan ini disampaikan dalam penutupan konferensi tahunan tingkat menteri luar negeri anggota OKI di Conarky, Guinea, Rabu (11/12) waktu setempat.
Langkah positif telah dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada akhir November 2012 lalu. PBB mengakui status Palestina yang semula hanya sebagai entitas menjadi negara pemantau nonanggota.
Bahkan, belum lama ini untuk kali pertama Palestina ikut pemungutan suara. Palestina memberikan suaranya dalam pemilihan hakim pengadilan kriminal internasional.
“Kami menyambut baik keputusan banyak negara mengakui Palestina dan yang belum melakukannya diharap segera mengakui kedaulatan Palestina,” demikian pernyataan OKI.
Selain soal pengakuan kedaulatan Palestina, OKI mengecam kebijakan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Sampai saat ini, Israel terus mengembangkan permukiman ilegal. Akibatnya, banyak warga Palestina terusir dari tanahnya sendiri.
Blokade terhadap warga Palestina di Gaza juga masih diterapkan Israel. Kebijakan ini membuat warga Gaza terisolasi.
Pertemuan di Conarky yang dimulai pada 9 Desember juga membahas secara khusus pelanggaran serius Israel yang merusak kesucian Masjid Al-Aqsha.
Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Wardana mengatakan, kebijakan itu tak dapat diterima dan harus dihentikan. “Indonesia mengusulkan agar ada pembahasan masalah ini di PBB. Jadi, muncul dukungan luas secara internasional,” katanya.
Sementara itu, dukungan terhadap Palestina juga semakin berkembang di Amerika Serikat (AS). Khususnya, di kalangan cendekiawan. Aljazirah mengungkapkan, pada konferensi 4 Desember lalu, American Studies Association (ASA) sudah melangkah ke arah sana.
Dalam sebuah pemungutan suara, mereka sepakat mendukung Palestina dengan cara memboikot institusi-institusi akademis Israel. Menurut mereka, ini sikap etis yang menunjukkan prinsip solidaritas dari para mahasiswa dan cendekiawan.
Sikap tersebut juga merupakan desakan agar kebebasan dirasakan oleh semua orang dan negara, termasuk Palestina. Alex Lubin, penulis dan profesor kajian Amerika, mengatakan keputusan ASA memecah tabu terakhir Amerika.
Artinya, ASA menciptakan sebuah ruang di antara masyarakat AS untuk menyuarakan penentangan terhadap pendudukan Israel di Palestina.
David Llyod, profesor dari University of California-Riverside, menyatakan, pemungutan suara di konferensi ASA merupakan sejarah.
Llyod menuturkan, tepuk tangan dan antusiasme ditujukan kepada pendukung boikot terhadap Israel itu. Menurutnya, pertimbangan utama mereka soal keadilan. “Peristiwa ini juga menunjukkan terjadinya perubahan besar di kalangan akademis.”
Semua hal yang mengarah pada perubahan ini dirintis gerakan Students for Justice in Palestine (SJP) di kampus-kampus AS.
Kelompok ini bekerja sama dengan warga asli Palestina mendorong boikot terhadap Israel hingga Zionis mengakui Palestina merdeka.