REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis harus mereposisi sekularismenya untuk mengintegrasikan populasi imigran, yang memungkinkan umat Islam untuk memakai jilbab di sekolah-sekolah dan mempromosikan pengajaran bahasa Arab, kata laporan sebuah panel yang ditugaskan oleh Perdana Menteri.
Dokumen itu merupakan bagian dari studi pemerintah mengenai kebijakan integrasi. Namun, laporan langsung memicu kecaman di kalangan politisi oposisi konservatif dan kegelisahan di kalangan Sosialis yang memerintah.
Dikatakan, Prancis dengan populasi Muslim terbesar di Eropa harus mengakui identitas "dimensi oriental Arab"-nya, misalnya dengan mengubah nama jalan dan tempat, menulis ulang kurikulum sejarah dan menciptakan satu hari khusus untuk menghormati kontribusi budaya imigran.
Meskipun survei statistik berdasarkan etnis secara resmi dilarang, 5 juta warga Prancis adalah Muslim, sebagian besar keturunan perantau dari bekas koloni Afrika seperti Aljazair dan Maroko.
Perdana Menteri Jean-Marc Ayrault, yang akan memimpin pertemuan tingkat menteri bulan depan mengenai tema peningkatan integrasi, sebagian kegiatan itu akan membahas laporan tersebut. Dia mengatakan kepada wartawan bahwa tidak ada rencana untuk mengubah larangan mengenakan jilbab di Prancis.
"Hanya karena saya menerima laporan itu, itu tidak berarti menjadi kebijakan pemerintah," kata Ayrault kepada harian Le Figaro. Dokumen tersebut diposting di situs resmi perdana menteri bulan lalu.
Walaupun Prancis merupakan negara sekuler, pluralisme masih berada dalam tatanan politik yang belum dapat diterima sebagai nilai yang utuh. Isu ini sering dihubungkan dengan imigrasi dan menjadi komoditas perdebatan publik.