REPUBLIKA.CO.ID, Menyelusuri lorong-lorong Kota Yangon dan melintasi jalan-jalan protokol seperti mengendarai "mesin waktu" karena banyak sekali bangunan tua yang tidak terawat.
Sejumlah bangunan baru atau apertement seperti sama tuanya dengan bangunan-bangunan kolonial Inggris karena warna catnya sudah mengkelupas di sana-sini. Bahkan, beberapa warga Indonesia yang baru tiba menyebutkan bahwa beginilah wajah Jakarta pada 1970-an.
Detik waktupun seakan berhenti, melihat kehidupan sosial budaya di
Myanmar yang paling mencolok adalah warganya sangat setia menggunakan pakaian tradisional "Longyi" atau kain sarung baik pria maupun wanita.
Bagi warga Indonesia, kain sarung biasanya hanya dipakai saat salat Magrib, Jumatan, Lebaran, sunatan, nikah, atau acara selamatan. Namun, di Myanmar, kain sarung adalah pakaian sehari-hari dan bagian dari baju resmi.
Tradisi lain yang sudah ditinggalkan oleh warga Kalimantan mungkin 50 atau 70 tahun silam adalah mengenakan bedak atau masker. Jika di Kalimantan bedak atau "pupur dingin" terbuat dari beras dan singkong maka di Myanmar namanya Thanaka atau hasil menggerus dari kayu Thanaka menggunakan batu giling.
Wajah anak sekolah, ibu-ibu atau gadis Myanmar meskipun tadinya cantik, akhirnya menjadi lucu karena coreng-moreng akibat bedak putih di pipi mereka yang fungsinya sebagai "sunblock".
Di mana-mana, wanita di Myanmar menggunakan bedak masker itu baik di pasar, sekolah maupun kanto-kantor pemerintah dan swasta.
Seperti Thailand, maka Myanmar juga cukup ketat membuat peraturan bagi para perokok sehingga tidak mudah menemukan tempat-tempat "smoking area". Mungkin, pemerintah Myanmar lebih mudah menekan angka perokok di negaranya karena budaya "menginang" (mengunyah kapur sirih) masih membudaya di sana.
sumber : Antara