Senin 23 Dec 2013 08:44 WIB

Israel Desak AS Hentikan Penyadapan

Aksi spionase (ilustrasi).
Foto: gadabimacreative.blogspot.com
Aksi spionase (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM -- Para menteri Israel, Ahad (22/12), menuntut AS agar mengakhiri kegiatan penyadapan sehubungan dengan pengungkapan bahwa Dinas Rahasia Nasional (NSA) telah memata-matai para pemimpin senior Israel.

"Sekarang rahasia sudah beredar," kata Menteri Perhubungan, Yisrael Katz, dalam satu pernyataan. "AS secara sistematis memata-matai pemimpin diplomatik dan pertahanan di Israel. Ini kah cara teman saling memperlakukan teman?"

Katz mengatakan ia berencana mendesak pertemuan kabinet pada Ahad agar menuntut komitmen Amerika untuk mengakhiri kegiatan mata-matanya.

Menteri Urusan Hubungan Internasional dan Strategis, Yuval Steinitz, memberitahu Radio Israel bahwa penyadapan tersebut tidak sah. "Israel tidak melakukan pengintaian terhadap Presiden AS, Gedung Putih atau Menteri Pertahanan," kata Steinitz.

Ia menambahkan AS dan Israel memiliki persekutuan strategis yang tak pernah ada sebelumnya, hingga tingkat yang layak untuk mencegah penyadapan atau saling melakukan kegiatan mata-mata.

''Kedua menteri tersebut juga menyerukan pembebasan Jonathan Pollard, warga negara Amerika yang dijatuhi hukuman seumur hidup karena memberikan informasi rahasia kepada Israel,'' demikian laporan Xinhua yang dipantau Antara di Jakarta, Senin pagi.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengisyaratkan dalam pertemuan kabinet bahwa pemerintah telah mengangkat masalah tersebut dalam pembicaraan pribadi dengan Pemerintah AS pada akhir pekan. Ia berharap kondisi akan tercipta sehingga memungkinkan kepulangan Jonathan.

Pembebasan Pollard, yang mulai menjalani hukuman di AS pada 1985, adalah tuntutan yang terus-menerus disampaikan Israel kepada AS.

Dokumen yang dibocorkan pada akhir pekan oleh mantan kontraktor AS, Edward Snowden, memperlihatkan NSA bekerjasama dengan dinas rahasia Inggris untuk mencegat surel dan hubungan telepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mantan perdana menteri Ehud Olmert dan mantan menteri pertahanan Ehud Barak.

sumber : Antara/Xinhua-OANA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement