REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Parlemen Iran tengah mempertimbangkan untuk mencari kota lain sebagai pengganti ibu kota negara mereka. Pemikiran ini muncul lantaran kondisi Teheran saat ini sudah penuh sesak.
Kantor berita resmi IRNA pada Selasa (24/12) kemarin mengatakan, para politikus di negeri itu telah menerima garis besar proposal terkait pemindahan ibu kota Iran dari Teheran. Sebanyak 110 dari 214 anggota parlemen yang hadir menyatakan dukungannya terhadap rencana ini.
“Berdasarkan program tersebut, dewan akan mengatur dan menghabiskan dua tahun untuk mempelajari lokasi alternatif yang terbaik,” tulis IRNA seperti dilansir Aljazeera, Rabu (25/12).
Para pendukung usulan ini menilai, Teheran yang saat ini memiliki populasi metropolitan sekitar 12 juta jiwa sudah tidak layak lagi menjadi ibu kota. Beberapa indikasi yang mereka sebutkan di antaranya adalah tingkat polusi yang berat, kemacetan lalu lintas kota yang kian parah, serta risiko gempa bumi di sana.
Akan tetapi, untuk ukuran sekarang ini, pemindahan pusat pemerintahan tersebut tampaknya mustahil karena tingginya biaya yang dibutuhkan. Wakil Presiden Mohammad Ali Ansari menyatakan, ia menentang rencana tersebut.
“Selain usulan ini tidak praktis, para politikus sebenarnya tidak memiliki kekuasaan untuk memerintahkan pemindahan ibu kota,” katanya.
Ia berpendapat, relokasi ibu kota merupakan bagian dari otoritas Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran yang berhak menentukan semua hal yang berhubungan dengan negara itu.
“Tidak mungkin bagi kita mengambil keputusan penting semacam ini tanpa berkonsultasi dengan Yang Mulia (Khamenei),” ujar Ansari.Pengamat ekonomi politik Iran, Saeed Leilaz, menyebut rencana itu tidak layak karena mahalnya biaya yang diperlukan.