Kamis 26 Dec 2013 22:00 WIB

Warga Miskin Singapura Tambah Menderita, Ada Apa?

Bendera Singapura
Foto: IST
Bendera Singapura

REPUBLIKA.CO.ID,  SINGAPURA — Kekayaan negara meningkat dalam 10 tahun terakhir sejak negara kota itu memposisikan diri sebagai basis pajak kemewahan yang rendah bagi orang-orang yang sangat kaya dari seluruh dunia.

PDB per kapita sebesar S$65.048 melebihi Amerika Serikat dan Jerman, dan survei-survei menyoroti bagaimana Singapura, dengan populasi 5,4 juta orang, memiliki lebih banyak miliarder per kapita dibandingkan negara manapun. Lembaga The Economist Intelligence Unit menempatkannya sebagai kota termahal keenam di dunia.

Namun data yang diterbitkan CPF menunjukkan bahwa proporsi warga Singapura yang berpenghasilan kurang dari setengah rata-rata pendapatan, sebuah standar internasional untuk mengukur  proporsi orang miskin, naik menjadi 26 persen pada 2011 dibandingkan dengan 16 persen pada 2002.

“Sebagai salah satu negra terkaya di dunia, kita mampu berbuat lebih baik,” ujar lembaga amal Caritas Singapore, saat meluncurkan kampanye untuk menyoroti kesulitan orang miskin seperti dikutip voanews.com, Kamis (26/12).

Sekitar 12 persen dari dua juta warga Singapura yang bekerja berpenghasilan kurang dari $1.000 (sekitar Rp 8 juta) per bulan. Padahal menurut Hui Weng Tat, profesor madya bidang ekonomi di Lee Kuan Yew School of Public Policy, seorang pekerja perlu minimum $1.400-$1.500 per bulan untuk dapat menutupi biaya hidup.

Koefisian Gini untuk Singapura, sebuah ukuran ketidaksetaraan pendapatan, mencapai 0,478 pada 2012, menurut data-data pemerintah, lebih tinggi daripada ekonomi-ekonomi maju lainnya selain Hong Kong.

Tidak seperti Hong Kong, Singapura belum menetapkan garis kemiskinan yang resmi, dan pemerintah telah menolak desakan untuk memperkenalkan upah minimum.

“Ada banyak hal yang harus dilakukan,” ujar Menteri Keuangan Tharman Shanmugaratnam baru-baru ini. "Saya tidak puas dengan situasi sekarang ini."

Nasib

Setiap hari, lewat matanya yang terselubung glaukoma, Peter, 54, melihat daya beli yang ditimbulkan keberhasilan ekonomi Singapura, dengan kesadaran bahwa ia hanya bisa menyaksikannya. Petugas keamanan sebuah pusat perbelanjaan itu merupakan bagian dari masalah tersembunyi di negara kota tersebut – peningkatan jumlah orang miskin yang termarjinalkan di salah satu kota termahal di dunia itu.

Partai politik yang telah mengatur negara itu sejak kemerdekaan pada 1965 selalu mendengung-dengungkan pentingnya swadaya. Namun bagi sejumlah orang, biaya merawat diri telah jauh lebih tinggi daripada kemampuan mereka.

Peter khawatir ia tidak dapat mengobati glaukoma yang diidapnya, sebuah kondisi yang dapat mengancam penglihatannya, meski ia memenuhi kriteria untuk mendapatkan operasi secara subsidi dan manfaat-manfaat dari negara lainnya.

Ia diberitahu bahwa pengobatan dapat menghabiskan lebih dari S$4.000 (US$3.200), namun kesakitan itu hanya membuatnya berkualifikasi untuk mendapatkan S$1.700 maksimal dari asuransi kesehatan yang diberikan pemerintah.

Peter, yang meminta nama belakangnya disembunyikan karena tidak mendapat izin dari majikan untuk berbicara dengan media, berpenghasilan sekitar S$1.600 ($1.300) sebulan dengan bekerja di daerah Orchard Road yang mewah.

Setengah dari gajinya dipakai untuk membayar utang sebesar S$20.000 ketika kaki istrinya patah dua tahun lalu, serta untuk membayar cicilan apartemen mereka di kompleks perumahan publik. “Kami tidak punya tabungan,” gumamnya, mengenang kembali bagaimana ia harus meminjam uang dari 18 orang setelah kecelakaan yang dihadapi istrinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement