REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak dunia naik pada Kamis (Jumat pagi WIB), di tengah kekhawatiran tentang produksi di Sudan Selatan yang dilanda konflik dan putaran terakhir peningkatan data ekonomi AS.
Patokan AS, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari naik 33 sen menjadi ditutup pada 99,55 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Patokan Eropa, minyak mentah Brent untuk pengiriman Februari naik delapan sen menjadi menetap pada 111,98 dolar AS per barel di Intercontinental Exchange London. Volume pada bursa elektronik rendah karena liburan "Boxing Day", yang menutup pasar-pasar utama di London.
Para pedagang telah mengawasi perkembangan di Sudan Selatan, yang telah diguncang oleh gelombang kekerasan etnis mematikan.
Para analis mengatakan konflik tersebut mengancam produksi minyak di Sudan Selatan, di mana beberapa pekerja ladang minyak telah dievakuasi.
Robert Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho Securities, mengatakan Sudan Selatan biasanya mengekspor sekitar 220.000 barel per hari ke Jepang, Malaysia dan China.
Dewan Keamanan PBB mengatakan bahwa pihaknya segera mengerahkan penguatan bantuan kepada pasukan penjaga perdamaian di negara itu, ketika negara-negara tetangga Kenya dan Ethiopia mencoba untuk menengahi solusi untuk krisis.
Minyak juga naik setelah Departemen Tenaga Kerja menunjukkan klaim laporan pertama kali untuk tunjangan pengangguran turun menjadi 338.000, di bawah perkiraan 350.000 oleh para analis.
Laporan klaim pengangguran yang lebih baik datang setelah data kuat AS lainnya baru-baru ini pada pertumbuhan kuartal ketiga, pesanan barang tahan lama dan indikator-indikator lainnya yang menunjukkan ekonomi lebih sehat.
"Membaiknya ekonomi AS dan tanda-tanda ekonomi global stabil telah mendorong harga minyak lebih tinggi," kata Gene McGillian, pialang dan analis di Tradition Energy.
Pasar sedang menunggu laporan mingguan persediaan minyak AS, yang ditunda sampai Jumat karena liburan Natal. Analis memperkirakan penurunan stok 2,2 juta barel, menurut survei oleh Wall Street Journal.