REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Para pemimpin Afrika Kamis (26/12) lalu mengunjungi Juba, Sudan Selatan. Mereka menggelar pembicaraan dengan pemimpin Sudan Selatan untuk mencegah perang saudara dan berupaya mengakhiri dua pekan pertempuran sengit di negara tersebut.
Dalam pertemuan itu, Presiden Kenya Uhuru Kenyatta dan Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn bertemu dengan Presiden Salva Kiir. Namun mantan wakil presiden Reik Machar yang kini buron, maupun perwakilannya tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
"Sudan Selatan adalah negara muda yang harusnya terhindar dari gangguan yang tak perlu dalam agenda pembangunan. Ambil kebijakan dan segera hentikan kekerasan yang menghilangkan banyak nyawa," ujar Kenyatta dalam sebuah pernyataan.
Sementara itu Cina yang memiliki kepentingan minyak di Sudan Selatan, mengatakan akan mengirim utusan khusus ke Afrika. Utusan akan membantu pembicaraan antara Kiir dan Machar.
"Cina sangat prihatin dengan situasi yang berkembang di Sudan Selatan," kata Menteri Luar Negeri Cina
Wang Yi.
Kiir sebelumnya telah sepakat untuk menghentikan permusuhan dan bernegosiasi dengan Machar. Namun hingga saat ini Machar belum diketahui keberadaannya.
Menurut Menteri Luar Negeri Sudan Selatan Barnaba Marial Benjamin, pembicaraan putaran berikutnya akan diadakan di ibukota Kenya, Nairobi.
Di sana para pemimpin regional Afrika yang tergabung dalam The Intergovernmental Authority on Development (IGAD), akan menindaklanjuti isu yang diangkat selama pembicaraan tiga jam dengan Kiir di Juba.
Diperkirakan Machar akan secara resmi diundang dalam pertemuan tersebut. Kekerasan terus terjadi di Sudan Selatan, di mana pasukan pemberontak telah menguasai sejumlah ladang minyak di negara tersebut.
Juru bicara militer Sudan Selatan Kolonel Philip Aguer mengatakan, pasukannya telah mempersiapkan diri merebut kembali ladang minyak di Bentiu ibukota negara bagian Unity.
Pemerintah juga mengatakan, pasukannya telah merebut kembali kota Bor yang merupakan ibu kota Jonglei, awal pekan ini.