REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Di tahun keempat revolusi Arab berkecamuk, gema Arab Spring tampaknya makin meredup. Semangat dan cita-cita untuk membawa angin perubahan di negara-negara Arab terancam gagal.
Sebaliknya, perang saudara dan konflik berkepanjangan malah menjadi pemandangan sehari-hari di negeri-negeri Arab ini. "Jika melihat fenomena yang terjadi saat ini, Arab Spring terlihat menjadi Arab Winter yang masih prematur," kata Hamid Dabashi, pengajar timur tengah di Universitas Columbia, New York, AS.
Janji-janji perubahan yang didengungkan-dengungan dan merupakan harapan besar Muhammad Azizi, kata Hamid, sepertinya akan sulit tercapai. Azizi adalah master bisnis asal Tunisia yang terpaksa berjualan buah-buahan karena Pemerintah tak mampu memberikan lapangan kerja.
Yang terjadi, para pemenang Arab Spring menghadapi perlawanan keras dari banyak pihak sehingga berbagai upaya dilakukan untuk menjatuhkan kekuasaan mereka. Gejala ini, jelas Hamid dalam ulasannya di Aljazirah, terlihat di Tunisia, Mesir, Oman, Yaman, Arab Saudi, Libya, Maroko, dan Irak.
Di Mesir, kata dia, Presiden terpilih secara demokratis dikudeta tentara. Yang mengerikan, jelas Hamid, segelintir kaum intelektual Mesir berdiri mendukung aksi tentara ini.
Di Tunisia, massa dengan dukungan militer terus mendesak turunnya pemerintahan yang dipimpin partai Islam yang menang secara demokratis. "Di Libya, masa depan makin tidak jelas setelah publik meminta Pemerintah menghadapi para milisi bersenjata," kata Hamid.
Di Bahrain, Arab Saudi, dan Maroko, setiap gerakan demokrasi menentang Pemerintah, langsung dihadapi dengan kekerasan. Pemerintah menggunakan berbagai cara untuk menutup aksi-aksi mereka, sehingga angin demokrasi tidak berhembus kencang.
"Irak sendiri masih terjebak pada konflik kekerasan sektarian," kata Hamid. N Elba damhuri