Kamis 02 Jan 2014 16:45 WIB

Kiir Serukan Keadaan Darurat Militer di Sudan Selatan

Rep: gita amanda/ Red: Taufik Rachman
Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir
Foto: sudantribune.com
Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir

REPUBLIKA.CO.ID,JUBA-- Presiden Sudan Selatan Salva Kiir Rabu (1/2) lalu, menyatakan keadaan darurat militer bagi dua negara bagian di Sudan Selatan. Peringatan tersebut disampaikan bersamaan dengan kedatangan tim perunding ke Ethiopia, yang tengah mempersiapkan perundingan damai.Kiir menyatakan darurat untuk negara bagian Unity dan Jonglei.

Dua wilayah tersebut kini dalam kendali pasukan pemberontak, yang setia pada mantan Wakil Presiden Riek Machar. Suara tembakan sempat terdengar di dekat istana presiden pada Rabu malam. Namun juru bicara presiden mengatakan, kemungkinan tembakan berasal dari peringatan pasukan keamanan pada warga yang melanggar jam malam.

Kedua belah pihak yang terlibat bentrokan di Sudan Selatan berada di bawah tekanan kekuatan regional dan Barat. Mereka diminta mencapai kesepakatan untuk menghentikan pertumpahan darah. Selama ini diperkirakan lebih dari 1000 orang tewas dan 200 ribu lainnya mengungsi akibat bentrokan yang terjadi di Sudan Selatan.

Pada prinsipnya, kedua belah pihak yang bertikai di Sudan Selatan telah setuju untuk melakukan gencatan senjata. Akan tetapi hal tersebut tak lantas menghentikan pertempuran yang terus berkobar di Bor. Mediator khawatir, bentrokan yang terus terjadi akan mematikan pembicaraan bahkan sebelum dimulai.

Menteri Pertahanan Sudan Selatan Koul Manyang Juuk sebelumnya mengatakan, pasukan pemerintah memerangi pejuang yang memberontak di 11 km selatan Bor. Wilayah tersebut merupakan daerah yang memiliki cadangan minyak yang belum dimanfaatkan.

Bor juga merupakan tempat terjadinya pembantaian etnis pada 1991."Di sana harus terus terjadi pertempuran, karena mereka ingin mengalahkan pasukan pemerintah," ujar Juuk pada Reuters di Juba.Sebelumnya delegasi dari kubu pemberontak telah tiba di Addis Ababa Ethiopia, pada Rabu, untuk perundingan gencatan senjata.

Namun mereka menolak memberikan komentar saat tiba di Sheraton Hotel, di Addis Ababa. Pembicaraan di ibukota Ethiopia akan fokus pada upaya menemukan cara untuk menggelar dan memantau gencatan senjata. Hal ini diungkapkan oleh The Intergovernmental Authority on Development (IGAD), yang menengahi pembicaraan.

Bentrokan yang terjadi telah menyebar ke separuh negara bagian di Sudan Selatan. Konflik tersebut telah membuat gelisah pasar minyak dan menimbulkan kekhawatiran akan tumpahnya konflik berkelanjutan di negara termuda itu.

"Kami tak ingin mengekspos orang-orang Sudan Selatan untuk perang yang tak masuk akal," ujar Menteri Luar Negeri Sudan Selatan Barnaba Marial Benjamin. Konflik pecah mulai 15 Desember setelah Kiir yang berasal dari suku Dinka, menuduh Machar yang berasal dari suku Nuer melakukan kudeta.

Baik Kiir maupun Machar telah lama bersaing dalam dunia politik di Sudan Selatan. Juli lalu, Kiir memecat Machar dari posisinya sebagai wakil presiden.Kiir mengatakan pada CNN Senin (30/12) lalu, bahwa negara Afrika harus bertindak cepat membantu memadamkan pasukan pemberontak.

"Para pemimpin Afrika harus datang dengan dukungan militer, sehingga pemberontak dapat ditundukan semua," ungkap Kiir.Pada Selasa (31/12), kedua belah pihak kembali terlibat bentrok di kota kunci Bor. Namun situasi sudah kembali tenang pada hari Rabu.

Pertempuran di kota Malakal, Upper Nile juga telah dihentikan. Menurut Kiir ini merupakan sebuah sinyal positif.Kiir menambahkan, pasukan PBB terus berpatroli di jalan-jalan Juba untuk melindingi warga sipil. Lebih dari 160 petugas polisi tiba dalam tiga hari terakhir.

Ia berharap pasukan akan bertambah hingga 240 pada Rabu dan akan bertambah lagi dua pekan ke depan.Gedung Putih terus meningkatkan tekanan untuk menggelar pembicaraan pada Selasa lalu. Gedung Putih menyatakan tak akan memberi dukungan pada siapa pun yang merebut kekuasaan dengan jalan kekerasan.

"Kami akan meminta para pemimpin yang bertanggung jawab atas perilaku pasukan mereka, dan memastikan pertanggungjawaban atas kekejaman dan kejahatan perang," ujar juru bicara Gedung Putih Caitlin Hayden.

Misi PBB di Sudan Selatan mengatakan, kekerasan berbasis etnis kerap dilakukan pada warga sipil di seluruh negeri. Pertempuran di Sudan Selatan telah membuat sedikitnya 180 ribu orang mengungsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement