Ahad 05 Jan 2014 22:45 WIB

Pengunjuk Rasa Myanmar Desak Pencabutan UU Represif

  Seorang warga melintas di pasar yang sepi akibat konflik yang kembali meletus di Thandwe, Rakhine, Myanmar, Rabu (2/10).  (AP/Khin Maung Win)
Seorang warga melintas di pasar yang sepi akibat konflik yang kembali meletus di Thandwe, Rakhine, Myanmar, Rabu (2/10). (AP/Khin Maung Win)

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Ribuan warga bergabung dalam unjuk rasa di kota utama Myanmar, Ahad (5/1), untuk mendesak pemerintah menghapus undang-undang yang represif dan mengakhiri penangkapan yang bersifat politis. Massa berkumpul selama sekitar dua jam di dekat Balai Kota Yangon sambil meneriakkan berbagai slogan seperti 'Beri warga hak penuh!' dan 'Kebebasan!'.

Myanmar pada 31 Desember 2013 mengatakan telah membebaskan tahanan politik terakhir berdasar program amnesti.Namun menurut pegiat Pyone Cho dari kelompok 88 Generation yang menyelenggarakan unjuk rasa tersebut, meski ada program pengampunan itu, sekitar 35 tahanan politik masih berada di penjara. "Kami tidak menerima setiap penahanan politik," kata Pyone Cho kepada AFP.

Presiden Thein Sein yang juga seorang mantan jendral mendapat pujian internasional dan sebagian besar sanksi dari Barat dicabut atas langkahnya memperbaiki kebebasan politik dan sipil. Ia berjanji untuk membebaskan semua tahanan politik hingga akhir 2013 namun tidak ada kejelasan kenapa masih ada beberapa tahanan politik yang masih berada dibalik jeruji besi.

Pemenjaraan sewenang-wenang menjadi ciri khas pemerintahan tangan besi junta yang berkuasa selama hampir setengah abad, yang membantah keberadaan tahanan politik meski junta itu juga menjatuhkan hukuman keras terhadap pegiat HAM, wartawan, pengacara dan artis.

Sebelum reformasi Myanmar, kelompok pegiat HAM menuding negara itu menahan sekitar 2 ribu tahanan politik. Para pendukung kampanye HAM khawatir pihak berwenang di masa depan akan terus melakukan penahanan terhadapi mereka yang kritis, dan prihatin terhadap aturan yang melarang unjuk rasa tanpa izin. Penahanan yang berakar dari masalah penyerobotan lahan juga menjadi keprihatinan.

Pengunjuk rasa Tun Lin Aung mengatakan sekitar 200 petani dari desanya di wilayah Delta Irrawaddy dipenjara akibat masuk lahan orang tanpa izin, dalam beberapa kasus konflik lahan. "Tak ada seorangpun membantu kami. Kami akan meminta presiden untuk membebaskan semua warga desa kami. Banyak anak sekolah kehilangan orangtua mereka yang didakwa dan dihukum karena menggarap lahan pertanian," katanya.

Para pengunjuk rasa juga meminta amendemen konsitusi yang dirancang oleh junta, yang mengalokasikan seperempat dari kursi parlemen untuk personel militer yang tidak dipilih dan menghambat pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi untuk menjadi presiden karena kedua anaknya adalah warga negara Inggris.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement