REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Gelombang paling akhir bentrokan sengit di Provinsi yang didominasi pemeluk Sunni di Irak, Anbar, adalah akibat dari perpecahan sektarian yang ditambah rumit dengan kebangkitan Al Qaida di negeri itu, kata pengulas lokal.
"Menurut pendapat saya, peningkatan kerusuhan paling akhir dipengaruhi oleh sikap tidak tegas Perdana Menteri Nuri Al-Maliki ke arah protes kaum Sunni selama setahun," kata Sabah Ash-Sheikh, seorang profesor politik di Baghdad University, kepada Xinhua.
Sejak Desember 2012, masyarakat Arab Sunni telah melancarkan protes rutin dan besar. Mereka menuduh pemerintah --yang dipimpin oleh pemeluk Syiah-- menyisihkan mereka dan pasukan keamanannya, yang didominasi kaum Syiah, secara membabi-buta menangkap, menyiksa serta membunuh putra mereka.
"Al-Maliki kadang-kala menuduh mereka menjadi bagian dari persekongkolan oleh mantan rejim Saddam Hussein dan bertindak sebagai wali kekuatan Sunni regional. Pada waktu lain, ia berusaha membuat pengakuan tapi tak pernah terlihat cukup untuk memadamkan protes," kata Ash-Sheikh.
Ketegangan telah tinggi di jantung masyarakat Sunni, Anbar, sejak penghujung Desember lalu, ketika pasukan keamanan Irak menangkap pemimpin suku Arab Sunni dan anggota Parlemen Ahmad Al-Alwani, salah seorang tokoh kenamaan yang paling lantang dalam protes anti-pemerintah.
Bentrokan terjadi di seluruh Anbar pada 30 Desember 2013, setelah polisi Irak melucuti lokasi protes anti-pemerintah di luar Ibu Kota Provinsi itu, Ramadi. Perdana Menteri Irak menyebutnya sebagai "markas bagi pemimpin Al Qaida".
Dalam tindakan untuk meredam ketegangan, Al-Maliki memerintahkan militer mundur dari berbagai kota besar Anbar setelah 44 anggota parlemen Irak mengumumkan pengunduran diri mereka untuk memprotes tindakan keras pemerintah terharap orang Arab Sunni.
Namun situasi tiba-tiba memburuk pada Rabu (1/1), saat gerilyawan dari kelompok yang menamakan diri Negara Islam Irak dan Perbatasan (ISIL) --yang biasa dikenal sebagai Al Qaida di Irak-- menyerang kantor polisi dan menguasai banyak bagian kota besar utama provinsi tersebut, Ramadia dan Fallujah.
Pamer kekuatan besar secara tiba-tiba oleh anggota Al Qaida membuat Al Maliki memutuskan untuk mengirim kembali prajurit militer dan bentrokan secara efektif kembali ke dalam perang tiga-tahun yang kacau itu.
Ibrahim Al-Ameri, dosen ilmu politik di satu perguruan tinggi Baghdad, memberitahu Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Senin-- pihak utama yang berperang di Provinsi Anbar adalah anggota suku yang bersenjata, anggota Al Qaida dan pasukan Irak yang setia kepada Pemerintah Pusat, yang didominasi kaum Syiah.
"Anggota suku Sunni, termasuk milisi Sahwa, dan pasukan polisi lokal biasanya menolak kehadiran militer dan polisi federal di kota besar mereka dan juga menolak anggota fanatik Al Qaida," kaa Al-Ameri.
Milisi Sahwa, yang juga dikenal sebagai Dewan Kebangkitan atau Putra Irak, terdiri atas beberapa kelompok bersenjata, termasuk sebagian mantan kelompok gerilyawan Sunni anti-AS. Kelompok gerilyawan itu belakangan mengarahkan senjata mereka terhadap jaringan Al Qaida setelah kelompok garis keras tersebut melakukan pembunuhan secara membabi-buta terhadap pemeluk Syiah dan Sunni.
Karena menghadapi musuh yang sama, Al Qaida, banyak anggota suku Sunni bergabung dengan pasukan keamanan Irak untuk memerangi gerilyawan Islam di Ramadi, Fallujah dan daerah lain di Anbar.
Banyak pengulas lokal berpendapat masalah mendasar yang berkaitan dengan bentrokan sengit saat ini adalah rasa saling tak percaya dan perpecahan sektarian yang dapat membawa negeri tersebut ke dekat jurang perang saudara yang mengancam bisa memecah-belah negeri itu.
Ia memperingatkan Pemerintah Pusat Irak dan anggota suku Sunni lokal tak boleh memikirkan penyelesaian krisis dengan kekerasan, yang bisa mengarah kepada pertumpahan darah dan perpecahan sektarian lebih lanjut.