Ahad 12 Jan 2014 00:01 WIB

Politik Turki di Mata Penasehat Erdogan

Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
Foto: Reuters
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertarungan kekuasaan di Turki, pada pembongkaran kasus korupsi, melahirkan istilah baru; kudeta yudisial.

"Apa yang ingin mereka lakukan adalah 'percobaan pembunuhan' (attempted assassination) terhadap cita-cita bangsa (national will)," kata Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan, Sabtu (4/1) dikutip dari AFP.

"Mereka ingin melakukan kudeta yudisial di Turki.. tapi kami akan menghalau operasi ini, plot 17 Desember ingin menghancurkan masa depan, stabilitas negara kami," lanjut Erdogan.

Pernyataan Erdogan ini membangkitkan kembali emosi pada trauma politik Turki yang dipenuhi kudeta militer, sejak tahun 1960 sampai kasus Ergenekon yang terakhir.

Politikus Justice and Development Party (AKP) ini, yang dianggap islamis oleh kalangan barat, harus berhadapan dengan musuh baru, yakni teman sendiri yang dinilai lebih islamis lagi, Gülen movement dipimpin Fethullah Gülen, yang bermukim di Amerika Serikat.

Bila politik Turki Dibacok di Jerman"> militer Turki selama ini berhubungan dengan kebijakan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan gerakan intelijennya yang terkenal bernama Operation Gladio, maka siapakah di balik kudeta yudisial yang bersembunyi di balik isu pemberantasan korupsi ini?

Dalam artikelnya "Turkey’s Failed Bureaucratic Coup" penasehat politik Erdogan, Ertan Aydin di Project Syndicate juga mengungkapkan istilah baru, kudeta birokrasi.

Sebagaimana diketahui, strategi politik Kudeta Yudisial bukanlah hal yang baru. Thailand, Pakistan dan Mesir telah mengalaminya.

Democracy Now, dalam artikel "A Judicial Coup in Egypt: Muslim Brotherhood-Controlled Parliament Dissolved, Military Gains Power" telah mewanti-wanti akan adanya kudeta yudisial sejak 15 Juni 2012, sebelum akhirnya menjadi kudeta militer pada 3 Juli 2013.

The Express Tribune, dalam artikel "A Judicial coup?" juga pernah mengangkat isu kudeta jenis ini di Pakistan pada 19 Juni 2012. Dan yang terakhir, Asian Correspondent melihat ada nuansa kudeta yudisial di Thailand dengan menuliskan artikel "Is a judicial coup in Thailand imminent?" 20 Juni 2012.

Di Thailand, diperkirakan kudeta yudisial sudah dilakukan sejak tahun 2009 pada era Thaksin Shinawatra.

Bila dilihat dari penjelasannya, artikel Ertan Aydin lebih tepat untuk menggambarkan situasi baru di Turki yang menyebutnya sebagai kudeta birokrat (yang gagal), karena kudeta militer sebelumnya selalu didukung oleh kalangan yudisial. Di kawasan Eropa, kudeta birokrat bukanlah hal baru, Italia dan Rusia pernah mengalami gejolak seperti ini walaupun akhirnya dapat diredam.

Dalam artikel Ertan Aydin yang lain di Aljazeera, 11 Desember 2013, "Talking Turkey: Orientalism strikes back" terlihat bahwa negara ini ternyata menghadapi musuh lama yang sudah lama terkubur: orientalisme.

Selain sebagai imitasi, orientaslime merupakan media kaum imperialis, penjajah, far-right, Islamophob untuk mengontrol negara-negara jajahan melalui pembentukan konflik yang tiada akhir. Dengan kemampuan imitasi, kaum orientalis tidak jarang lebih berilmu dan lebih akademik dibandingkan mereka pemeluk agama Islam sendiri di mata kuliah keislaman, (atau lebih Islamis?)

"Pada masa kejayaan kekaisaran orientalisme yang dilawan oleh Muslim modernis, Gubernur Inggris Lord Cromer menyatakan bahwa 'Islam Reformed tidak lagi Islam.' Media orientalisme tampaknya percaya bahwa 'Muslim demokrat tidak bisa lagi menjadi Muslim', dan akhirnya ini menyebabkan keyakinan bahwa Muslim konservatif Turki tidak akan pernah bisa menjadi demokrat yang baik. Ini adalah waktu yang tepat untuk merenungkan politik asumsi persisten," kata Aydin di artikel Aljazeera.

Tesis Ertan Aydin ini dapat diasumsikan mendekati kebenaran melihat Turki pada akhir-akhir ini mengalami kemajuan ekonomi yang cukup pesat dan timbulnya kesadaran kultural yang lebih matang di masyarakat dengan diterimanya gaya sekularisme Anglo-Saxon menggantikan sekularisme represif yang dianut sebelumnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement