Ahad 19 Jan 2014 16:08 WIB

Rakyat Mesir Dukung Konstitusi Baru

Rep: Gita Amanda/ Red: Julkifli Marbun
Abdul Fatah Alsisi
Foto: EPA/Khaled Elfiqi
Abdul Fatah Alsisi

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Lebih dari 98 persen pemilih mendukung disahkannya konstitusi baru Mesir dalam referendum pekan ini. Meskipun pejabat berwenang menyatakan, jumlah pemilih yang mengambil bagian dalam pemilihan tak mencapai 40 persen.

Namun, hampir 20 juta pemilih mendukung konstitusi baru Mesir. Jumlah tersebut dua kali lipat pemilih yang menyetujui konstitusi yang disusun Muhammad Mursi 2012 silam.

Juru bicara kepresidenan Ehab Badawy mengatakan, meskipun di tengah pergolakan sosial yang intens dan berbagai tindakan teror serta sabotase Mesir tetap dapat menjalankan petanya untuk demokrasi.

"Hasilnya menunjukkan tak lain seperti fajar untuk Mesir baru," ujar Badawy. Dukungan yang luar biasa terhadap konstitusi baru dipandang sebagai kunci melegitimasi pemerintah sementara yang didukung militer. Analis mengatakan, hal ini juga menunjukkan bahwa Jenderal Abdel Fattah el-Sissi memiliki dukungan dari rakyat.

Pemungutan suara juga disebut-sebut sebagai kemajuan rencana transisi Sissi, setelah dirinya menggulingkan Mursi Juli lalu. Banyak orang Mesir melihat, Sissi sebagai pemimpin kuat yang dapat menstabilkan negara.

Diperkirakan Sissi akan segera mengumumkan pencalonan dirinya sebagai presiden.

"Sekarang Allah telah mendukung kami dalam mengesahkan konstitusi, kami meminta bantuan-Nya dalam mencapai sisa dua tahapan lagi yakni pemilihan presiden dan parlemen," ujar Kepala Komite Pemilihan Mesir Nabil Salib.

Menurut Salib, sebanyak 98,1 persen pemilih menyatakan setuju dengan konstitusi baru. Meski hanya 38,6 persen warga Mesir yang menggunakan suaranya untuk penentuan konstitusi baru tersebut. Konstitusi baru, salah satunya berisi larangan dibentuknya partai-partai Islam di Mesir. Selain itu konstitusi baru juga memuat butir yang memberi kesempatan lebih luas pada perempuan dan memperkuat cengkeraman politik militer.

Namun para aktivis dan kelompok pemantau menyuarakan keprihatinannya pada pemilu yang terjadi di Mesir baru-baru ini. Kelompok Demokrasi Internasional mengatakan, penyebaran pasukan keamanan dan tata letak sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) mengancam pemilih untuk memberi suara secara rahasia.

"Tak ada bukti masalah tersebut secara substansial mempengaruhi hasil referendum, tapi mereka dapat mempengaruhi integritas dan kredibilitas dari proses pemilu di masa depan," ungkap kelompok tersebut dalam pernyataan.

Saat pemungutan suara berlangsung, polisi kerap menangkap mereka yang menyerukan 'tidak' pada referendum. Hal ini meninggalkan sedikit sekali ruang untuk berdebat melawan konstitusi baru.Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry menyuarakan keprihatinannya dalam sebuah pernyataan. Kerry mendesak pemerintah Mesir, untuk memenuhi janjinya menghormati hak-hak sipil dan memperluas pemerintahan melalui pemilu yang bebas dan adil.

Kerry mengatakan, melihat pergolakan yang terjadi di Mesir dalam mewujudkan demokrasi partisipatifnya mengingatkan bahwa tak hanya satu suara untuk menentukan demokrasi. "Tapi semua langkag mengikuti, karena berikutnya akan membentuk kerangka politik, ekonomi dan sosial Mesir dalam beberapa generasi," ujar Kerry.

Pengesahan konstitusi mencerminkan kerinduan luas untuk ketenangan di negara Arab paling padat penduduknya itu. Selama ini Mesir menderita pergolakan terus-menerus, sejak pemberontakan rakyat menggulingkan Husni Mubarak.

Wakil Perdana Menteri Hossam Eissa mengatakan, referendum merupakan pukulan yang akan mengusir Ikhwanul Muslimin dari arena politik. "Mereka tak bisa mengalahkan kehendak 20 juta orang," ujar Eissa.

Pemungutan suara merupakan pertama kali sejak militer menggulingkan Mursi. Ratusan orang merayakan di jalan-jalan setelah para pejabat mengumumkan hasil. Termasuk di antaranya Hoda Hamza, seorang ibu rumah tangga yang melambai-lambaikan bendera Mesir di Tahrir Square.

Ia membawa foto Jenderal Sissi dengan tulisan, "Berdasarkan permintaan masyarakat, el-Sissi adalah presiden.""Kami tak memiliki orang yang lebih baik, kalau bukan tentara, kami tak akan memiliki makanan di atas meja," ujar Hamza.

Sementara itu sayap politik Ikhwanul Muslimin, Partai Kebebasan dan Keadilan menyebut hasil referendum tidak valid. Pernyataan tersebut disampaikan dalam laman Facebook resmi partai tersebut.

Pendukung Mursi memboikot pemungutan suara, dan segera menantang hasil pemungutan suara. Meskipun dilarang dan dicap sebagai kelompok teroris, Ikhwanul Muslimin dan sekutunya terus melakukan protes hampir setiap hari.

sumber : Ap/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement