Selasa 21 Jan 2014 13:55 WIB

Psikolog Australia Perangi Penipuan Internet

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Hat-jhati penilua mellaui internet. Kini, sejumlah psikolog di Australia turun tangan melawan aksi penipuan melalui internet tersebut. Caranya, dengan menggunakan keahlian mereka, para psikolog ini berusaha meyakinkan korban bahwa mereka tengah ditipu.

Setiap bulan, penduduk Australia mentransfer setidaknya 7 juta dollar (Rp 73 miliar) ke rekening-rekening bank penipu yang beroperasi secara internasional. Karena sulit melacak penerima uang tersebut, pihak berwenang mencoba menanggulangi masalah ini dengan cara mendekati para korban. Namun, menurut pihak polisi, para korban seringkali sulit menerima kenyataan bahwa mereka tengah jadi korban penipuan berkedok kerjasama bisnis atau cinta.

"Ini tidak hanya terjadi di Queensland atau Australia. Tantangan ini dialami seluruh badan penegak hukum di dunia. Saya berani bilang, saat ini belum ada yang bisa memecahkan masalah ini," jelas Inspektur Detektif Brian Hay dari tim penanggulangan penipuan negara bagian Queensland. 

Maka, kepolisian telah memanggil bantuan para psikolog dan kriminolog dari Griffith University, Queensland.

"Kita harus menciptakan dialog, naskah, proses, yang bisa menembus benak para korban," jelas Hay, "Kita ingin mereka mempercayai kita."

Dr Jacqueline Drew dari Griffith University menyatakan bahwa proyek yang masih dalam tahap awal ini berpotensi.

"Kita akan mencari faktor-faktor penting yang paling efektif untuk menghentikan keterlibatan individu dalam sebuah penipuan," jelasnya.

Keberhasilan ini tergantung kemampuan polisi untuk berhubungan dengan korban, yang seringkali tak ingin bekerjasama. Penting pula melakukan intervensi di saat yang tepat.

"Menurut kami, strategi terbaik adalah mencari korban secara proaktif di tahap-tahap yang paling awal dalam keterlibatan mereka dalam sebuah penipuan," ucap Drew.

Salah seorang korban penipuan adalah Jill Ambrose, seorang mantan desainer interior. Ia dihubungi seseorang yang mengaku bekerja untuk pemerintah Nigeria.

Orang tersebut mengaku tengah merenovasi sebuah rumah sakit di kota Lagos, Nigeria, dan mengundang perusahaan Ambrose untuk menjalankan sebagian proyek tersebut.

"Saat itu saya juga mensponsori lima anak yatim di Afrika. Saya fikir, saya bisa melakukan kebaikan," cerita Ambrose.

Dalam waktu beberapa tahun, Ambrose dikirimi foto, surat, kontrak bisnis dan sertifikat. Ia pun mulai mentransfer uang hingga mencapai 300.000 dollar.

Bulan Agustus 2007, Ambrose akan berangkat ke Belanda untuk meminta bayaran, dan keluarganya melaporkan niatnya tersebut.

Inspektur Hay mengirimkan anak buahnya untuk mencegah Ambrose berangkat, hingga akhirnya ia terlambat naik pesawat.  Namun, Ambrose tetap naik pesawat lain seminggu sesudahnya.

Setelah sampai di tujuan, Ambrose dibawa ke lokasi terpencil oleh sejumlah laki-laki, dan mereka memintanya menyerahkan seluruh uangnya.

Saat ini, ia bertahan hidup dengan dana pensiun. Pernikahannya hancur dan salah satu anaknya menolak berbicara dengannya.

Ambrose sekarang membantu korban penipuan lain bangkit kembali.

Komisi Kompetisi dan Konsumen Australia tahun lalu menerima lebih dari 28.000 laporan dari penipuan yang disebut advanced fee fraud. Dalam penipuan macam ini, korban biasanya diminta mentransfer sejumlah uang untuk menerima komisi dalam jumlah besar.

Namun, menurut kepolisian, banyak kasus yang tak dilaporkan, karena ada stigma terhadap mereka yang jadi korban penipuan.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement