Rabu 22 Jan 2014 09:54 WIB

Suku Kurdi Suriah Perkuat Otonomi

Rep: Gita Amanda/ Red: Mansyur Faqih
 Seorang anak kecil memegang bendera Kurdi di kota Ras Al Ayn di Suriah. (ilustrasi)
Foto: AP/Manu Brabo
Seorang anak kecil memegang bendera Kurdi di kota Ras Al Ayn di Suriah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Suku Kurdi di Suriah mendeklarasikan pemerintah provinsi di utara negara itu, Selasa (21/1). Konsolidasi kehadiran geografis dan politik itu dilakukan menjelang pembicaraan damai di Swiss, dimana perwakilan mereka tak akan hadir.

Dewan Nasional Kurdi akan menjalankan urusan di salah satu dari tiga distrik administratif yang didirikan. Suku itu juga akan memimpin daerah termasuk kota Hassaka dan Qamishli. 

Menurut kelompok Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, kelompok itu akan memiliki presiden, menteri urusan luar negeri, menteri pertahanan, serta menteri keadilan dan pendidikan sendiri. Kelompok yang berbasis di Inggris itu mengatakan, pemilu akan diselenggarakan dalam waktu empat bulan.

Dorongan untuk otonomi yang lebih besar oleh Kurdi Suriah membuat terkesima kekuatan regional. Terutama negara tetangga Turki yang telah berurusan dengan tuntutan yang sama dari populasi Kurdi di negaranya.

Hal ini juga membawa Kurdi Suriah ke dalam konflik langsung dengan pemberontak dan pejuang Islam. Tahun lalu, mereka mencoba mengambil wilayah itu dari Kurdi Suriah.

Kurdi sebelumnya meminta untuk mengirim delegasi terpisah ke konferensi Jenewa II. Mereka mengatakan, tuntutan mereka atas masa depan Suriah berbeda dengan orang pemerintah mau pun oposisi. Namun permintaan mereka ditolak.

Pekan lalu, Partai Pekerja Kurdistan (PKK) mengkritik pembicaraan damai. Mereka mengatakan dalam sebuah pernyataan, oposisi tak lebih baik dari partai yang tengah berkuasa saat ini. Etnis minoritas Kurdi telah lama terpinggirkan di Suriah.

"Saat semua pihak diundang ke konferensi permintaan Kurdi untuk berpartisipasi diabaikan. Sikap mereka (oposisi Suriah) tak berbeda dengan rezim, mereka tak menggap serius tuntutan rakyat Kurdi," ungkap sebuah pernyataan.

Pernyataan itu juga menyamakan pembicaraan damai Suriah sama dengan Perjanjian Laussane pada 1923. Perjanjian itu menarik batas antara Iran moderen, Turki, Irak dan Suriah dan membagi tanah etnik Kurdi jadi empat bagian.

"Mereka (orang-orang Kurdi) hidup satu abad menderita karena hasil Laussane, mereka tak akan membiarkan Jenewa II menjadi Laussane lain bagi mereka," kata pernyataan itu.

sumber : reuters/al arabiya
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement