Kamis 23 Jan 2014 18:16 WIB

Awan Hitam Masih Menggelayut di Langit Suriah

Rep: Elba Damhuri/ Red: Hafidz Muftisany
Suasana kota di Suriah yang hancur akibat perang saudara yang melanda negara tersebut.
Foto: EPA/STR
Suasana kota di Suriah yang hancur akibat perang saudara yang melanda negara tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, Masa depan perdamaian di Suriah masih belum jelas. Perundingan Jenewa II sebagai kelanjutan Jenewa I yang digelar pada 20 Juni 2012 masih belum bisa memberikan gambaran putih atas nasib Suriah dan rakyatnya.

Jenewa I sukses menghasilkan prinsip bahwa masa transisi diperlukan di Suriah. Dengan begitu, perlu dibentuk pemerintahan atau lembaga sementara yang mengurus proses transisi itu, terutama untuk menggelar pemilu memilih pemerintahan baru.

Perundingan Jenewa II digelar di Swiss untuk mencapai kesepahaman antara kubu Presiden Bashar Al-Assad dan kaum oposisi tentang pemerintahan sementara di masa transisi. Namun, pakar Timur Tengah dan peneliti di Yayasan New America, Randa Salim, merasa pesimistis tujuan sama Suriah itu bisa dicapai.

"Ada sejumlah alasan mengapa jalan damai masih terjadi di Suriah," kata Randa, Kamis (23/1), seperti dikutip Aljazeera.

Pertama, pemilihan kelompok oposisi yang mengikuti perundingan Jenewa II jauh dari inklusif. Dalam arti, para pemimpin oposisi yang mengikuti konferensi ini tidak memiliki akar rumput kuat di Suriah.

Juga, delegasi oposisi ini tidak memiliki kontrol atas pejuang-pejuang oposisi di lapangan. Mereka jauh dari dari pasukan oposisi yang riil sehingga mubazir membawa orang-orang ini berbicara serta memutuskan damai di Jenewa. Kecualinya sekadar jalan-jalan melihat keindahan Montreux.

Kedua, jurang perbedaan antara dua sponsor perundingan damai ini begitu dalam. Rusia berkeras dengan syarat bahwa Assad tetap memiliki hak politik untuk mengikuti pemilu yang digelar pemerintahan transisi.

Sementara, AS menginginkan jalan damai itu tanpa melibatkan Assad di pemerintahan sementara hingga pemilu digelar. Assad tidak boleh mengikuti pemilu untuk membentuk pemerintahan baru.

Rusia khawatir terpecahnya oposisi Suriah hanya membuat negara itu semakin kacau dan tak teratur. Naiknya kubu Islamis memimpin Suriah pasca-Asad juga menjadi alasan mengapa Assad harus tetap mengikuti proses demokrasi tersebut.

Ketiga, masih meruncingnya kepentingan dan perspektif negara-negara pendukung oposisi dan Pemerintah Suriah. Arab Saudi jelas memiliki kepentingan besar di Suriah dengan membawa misi tersendiri.

Begitu juga Turki. Masing-masing mendukung kelompok oposisi yang berbeda yang kemudian makin memecah belah kelompok ini. Mesir pun berada di posisi untuk menjaga kepentingannya sendiri. Dan Iran, adalah pendukung utama Assad beserta rezimnya yang tidak berkehendak kubu ini jatuh atau tidak dilibatkan dalam pemerintahan transisi.

Kondisi-kondisi ini, menurut Randi, jelas mempersulit jalan damai yang coba digagas Rusia dan AS serta PBB dan negara-negara lainnya. Salah satu kesalahan utama PBB dan AS, kata dia, tidak mengikutsertakan Iran dalam perundingan ini. Ya, awan hitam masih menggelayut di langit Suriah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement