Ahad 26 Jan 2014 20:52 WIB

Konflik Mesir Belum Selesai. Ini Penyebabnya

Rep: Muhammad Ibrahim Hamdani/ Red: Damanhuri Zuhri
Konflik di Mesir
Foto: Youtube
Konflik di Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pasca referendum konstitusi di Mesir, ternyata Konflik Mesir belum terlihat akhir penyelesaiannya sampai Ahad (26/1). Situasi itu membuktikan variabel masalahnya cukup kompleks.

Hal ini ditanggapi Abdul Muta'ali, Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI). Ia menyatakan, terdapat perubahan drastis terhadap adagium Mesir antara dulu dengan saat ini.

"Dulu, adagiumnya:  Mesir adalah Ikhwanul Muslimin (IM), Mesir adalah sekularisme, Mesir adalah Militer, dan Mesir adalah Al-Azhar," ujar alumnus Program Doktoral dari Universitas di Sudan itu saat dihubungi, Ahad malam (26/1).

Namun, lanjutnya, adagium itu sekarang  berubah menjadi: Mesir adalah IM, Mesir adalah Sekularisme, Mesir adalah Militer dan Mesir adalah Israel.

Lantas, terangnya, kenapa Al-Azhar bisa hilang dari adagium Mesir? dan mengapa Israel bisa masuk ke salah satu faktor adagium itu?

Jawabannya, karena Banyak sekali kepentingan yang bermain dalam konflik politik Mesir saat ini. Faktor Al-Azhar bisa hilang dari peta Mesir saat ini, karena Al-Azhar dan Militer berada pada faksi yang sama.

"Sikap Al-Azhar seiring sejalan dengan sikap militer. Militer berhasil mengkooptasi Al-Azhar, dan Al-Azhar pun menopang militer, Jadi militer adalah Al-Azhar," tutur dosen di Departemen Sastra Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI itu.

Menurutnya, banyak orang berharap ketika Muhammad Mursi dilantik menjadi Presiden, konsolidasi ormas-ormas Islam semakin dinamis.

Namun, penyakit lama rupanya kambuh kembali. "Rabun kekuasaan telah menjadi kolestrol yang menyumbat peredaran ukhuwwah," jelas pengajar bahasa Arab di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI ini.

Organisasi-organisasi Islam selain IM juga terlihat mulai mendukung pemerintahan transisi di bawah pimpinan Presiden Adly Mansour, mantan Ketua Mahkamah Agung Mesir.  Hal ini, ujarnya, secara gamblang terungkap dari sikap politik Partai An-Nour.

Partai An-Nour berbalik 180 derajat mendukung pemerintahan transisi di bawah pimpinan Presiden Adly Mansour, pasca kudeta terhadap Presiden Mursi. Padahal, sebelumnya partai itu mendukung Presiden Mursi.

Adapun Israel menjadi adagium baru di Mesir karena pengaruh perjanjian Camp David tahun 1978. Berdasarkan perjanjian itu, pintu perbatasan Rafah harus selalu ditutup oleh otoritas Mesir. Jika tidak ditutup, maka harga gandum akan meningkat tajam, tutur Abdul Muta'ali.

Itulah sebab mengapa harga gandum di Mesir melonjak tinggi hingga 30 Pounds ketika Presiden Mursi berkuasa.

Pasalnya, lanjut Abdul Muta'ali, Presiden Mursi membuka selebar-lebarnya pintu perbatasan Rafah untuk perjalanan internasional lintas negara Mesir - Palestina.  

Peristiwa konflik politik yang terjadi di Mesir, menurutnya, mirip dengan peristiwa konflik yang terjadi di Afghanistan. Ketika Afghanistan berjihad melawan penjajahan Uni Soviet, seluruh mujahidin dan faksi-faksi Islam bersatu angkat senjata melawan Uni Soviet.

Namun ketika ummat Islam di Afghanistan menang, tuturnya, lalu pemerintahan dikuasai oleh faksi Taliban, rabun kekuasaan itu justru terjadi.

Sejak kemenangan Taliban di Afghanistan, pasca mundurnya Uni Soviet, faksi-faksi Islam di Afghanistan terus bertikai dan berkonflik hingga saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement