REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Perundingan Jenewa II yang membicarakan tentang masa depan Suriah tidak menghasilkan apapun. Pembicaraan dijadwalkan akan dilanjutkan pada 10 Februari mendatang di Jenewa. Namun, siapakah yang patut disalahkan atas pembicaraan yang tak menghasilkan apa-apa tersebut?
Pengamat dari Universitas Oklahoma Joshua Landis mengatakan kepada PBS, Jumat (31/1), AS seharusnya tak meminta perubahan rezim di Suriah agar pengungsi Suriah mendapatkan akses pada bantuan.
Hal tersebut juga bisa menjadi awal mula gencatan senjata agar rakyat Suriah tidak menderita. "Tapi AS bersikukuh dan mengatakan bahwa rezim di Suriah harus berubah," ujar Landis.
Ia mengatakan, ketika rezim Bashar al-Assad mendengar hal tersebut, mereka langsung mencabut rencana gencatan senjata. Perbincangan pun memanas dan berakhir saling tuding. Menurut Landis, Assad saat ini merasa berada dalam kekuatannya yang paling tinggi karena memiliki militer yang kuat.
Ia juga meyakini perbincangan lanjutan tidak akan menghasilkan apapun jika perundingan masih meminta Assad untuk digulingkan. "Assad tidak akan mundur. Jika rezim akan diganti, kita harus melangkahi mayat Assad terlebih dahulu. Itu berarti perang sipil," ujarnya.
Pengamat dari Institut Washington Andrew Tabler mengatakan alasan di balik keinginan AS untuk mengganti rezim di Suriah adalah transisi yang menjadi inti dari perundingan Jenewa tersebut.
Rezim yang berkuasa saat ini tidak akan mengizinkan pasokan bantuan masuk melalui Homs. Saat ini di Homs, para pemberontak dapat lebih dipercaya.
Tabler juga membenarkan Assad saat ini merasa sangat kuat, terutama di bagian barat. Tapi yang menarik adalah, kendati Assad merasa kuat, Assad masih meminta pasokan senjata. "Jika ia sangat kuat di bagian barat, kenapa masih meminta senjata?" ujarnya.