REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemilu di Thailand berlangsung damai pada hari ini (Ahad, 2/2). Namun belum mampu mengakhiri konflik politik dalam pemerintahan. Aksi protes masih tertuai di dalamnya.
Voting terganggu sekitar seperlima dari konstituen negara, tetapi tidak ada tindak kekerasan yang dilaporkan. Meski bentrokan bersenjata antara pendukung dan penentang Perdana Menteri Yingluck Shinawatra memakan korban tujuh orang terluka pada malam pemungutan suara.
Voting berakhir pada pukul 3 sore waktu setempat. Dari hasil voting, Yingluck tetap meraih suara terbanyak selama berminggu-minggu. Namun hal tersebut terus mengalami protes anti-pemerintah yang bertujuan untuk membatalkan pemilihan.
Billboard kampanye, poster glossy pada pra-pemilu terasa absen kali ini. Banyak pemilih takut akan timbul kekerasan. Aksi menolak pemungutan suara terikat untuk kembali memilih-raksasa politik dikendalikan oleh Thaksin Shinawatra yang merupakan kakak Yingluck.
Mantan perdana menteri Thaksin yang kini berusia 64 tahun memang dicintai. Namun juga dibenci. Piihaknya selalu memenangkan setiap jajak pendapat sejak tahun 2001. Lawan-lawannya mengatakan bahwa dia adalah kroni kapitalis korup.
Voting lebih lanjut sudah dijadwalkan pada 23 Februari mendatang. Setelah masalah dengan pemungutan suara hari Minggu lalu. Voting mengalami masalah sekitar 18 persen atau 69 dari 375 daerah pemilihan nasional. Komisi Pemilihan Umum Thailand mengatakan, 18 provinsi dari 77 diantaranya sangat berpengaruh. Para demonstran menyerukan pemerintah berhasil menyabotase suara.
"Orang-orang tidak takut dan mereka keluar untuk memilih hari ini," kata Jarupong Ruangsuawan, yang juga menjabat sebagau Menteri Dalam Negeri.