Selasa 04 Feb 2014 01:13 WIB

Mursi, Antara Revolusi dan Pengadilan Politik

Rep: Elba Damhuri/ Red: Fernan Rahadi
Seorang anak membawa poster Presiden Muhammad Mursi di kawasan masjid Rabaah al-Adawiya di Nasr City, Kairo,   Rabu (31/7).
Foto: AP/Hassan Ammar
Seorang anak membawa poster Presiden Muhammad Mursi di kawasan masjid Rabaah al-Adawiya di Nasr City, Kairo, Rabu (31/7).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pengadilan yang sedang berjalan terhadap mantan presiden Mesir, Muhammad Mursi, bukan sembarangan proses hukum. Pengajar hak asasi manusia di London School of Economics and Political Science, Awol K Allo, menulis, ini merupakan sebuah pengadilan politik.

Pengadilan yang digelar otoritas hukum Mesir itu, kata Awol, bertujuan untuk mempermalukan, mendelegetimasi, dan membuang kiprah Ikhwanul Muslimin dari lanskap perpolitikan Mesir. "Sasarannya adalah menghilangkan Ikhwanul Muslimin dari Mesir, bukan sekadar mengenyahkan Mursi," tulis Awol di Aljazeera, Senin (3/2).

Menurut ahli hukum Frankfurt school, Otto Kirchheimer, pengadilan (persidangan) politik adalah sebuah strategi memobilisasi perangkat-perangkat hukum dan peraturan untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Ini lazim dilakukan banyak rezim di seluruh dunia yang baru saja memasuki fase 'revolusi'.

Pengadilan politik klasik, kata Kirchheimer, terkait dengan upaya rezim berkuasa yang mencoba melibatkan musuh bersama masyarakat untuk dibuang jauh-jauh dari dunia politik. Pengadilan terhadap Mursi didesain untuk mengenyahkan Mursi dan gerakan-gerakan pendukungnya dari ruang politik Mesir.

Pengadilan politik, jelas Awol, tidak terhindarkan sebagai konsekuensi dari sebuah revolusi politik. Dari revolusi Inggris dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18 hingga revolusi Cina dan Iran pada abad ke-20, ruang sidang menyediakan ruang 'nyaman' bagi penguasa yang tumbang.

Tujuan lain pengadilan politik ini, kata Awol, untuk mengklarifikasi, merasionalisasi, membenarkan, dan menerima arti penting revolusi. "Ini yang sedang dilakukan terhadap Mursi," kata dia.

Persoalnnya, Awol menyebut, terlalu dini mengatakan apakah yang terjadi di Mesir terhadap Mursi itu benar-benar revolusi atau kudeta. Tidak mudah untuk mengatakan bahwa Mursi tidak dikudeta. Terlalu mudah juga untuk menyimpulkan bahwa terjadi revolusi terhadap Mursi.

Tak heran jika Mursi menolak keras legitimasi dan otorisasi pengadilan terhadap dirinya. "Saya adalah presiden yang sah dan militer mengkudeta pemerintahan saya," kata Mursi ketika muncul di pengadilan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement