REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Oposisi Thailand melancarkan usaha legal untuk membatalkan pemilihan umum kontroversial akhir pekan lalu sementara Amerika Serikat memperingatkan terhadap upaya kudeta militer guna mengakhiri krisis politik itu yang berlangsung selama beberpa bulan.
Seorang pengacara untuk Partai Demokrat yang beroposisi mengajukan petisi ke Mahkamah Konstitusi guna membatalkan pemungutan suara Ahad dan melarang partai yang berkuasa -- langkah paling akhir kelompok penentang untuk menantang pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.
"Petisi ini adalah untuk mengusahakan pembatalan pemilihan, melarang partai Puea Thai dan melarang jajaran eksekutif partai beraktivitas politik selama lima tahun," kata Virat Kalayasiri kepada wartawan ketika ia memasuki gedung mahkamah, kemudian membenarkan petisi itu secara resmi telah diserahkan.
Yingluck menyebut pemilihan tersebut berusaha untuk meniadakan pawai-pawai massal yang mengganggu jalannya pemerintahan. Protes-protes di Bangkok menyulut aksi kekerasan dan menyebabkan kerajaan itu dilanda krisis politik berkepanjangan.
Tapi protes-protes itu, yang dipimpin oleh seorang mantan anggota parlemen Demokrat, telah berlanjut. Mereka menghendaki Yingluck dilengserkan dan pemerintahannya diganti oleh Dewan Rakyat yang tidak dipilih untuk memberlakukan reformasi sebelum pemilihan baru.
Mereka menyatakan PM itu hanyalah boneka bagi kakaknya mantan perdana meenteri Thaksin Shinawatra yang berada di pengasingan. Thaksin dituduh korupsi dan membeli suara.
Kelompok Demokrat, partai tertua Thailand, memboikot pemilihan umum itu sementara para pemerotes dukungan oposisi mencegah 10 ribu tempat pemungutan suara beroperasi pada Minggu. Aksi tersebut membuat beberapa juta orang terutama di wilayah-wilayah benteng oposisi di Bangkok dan bagian selatan Thailand terganggu.
Virat mengatakan tantangan lewat jalur hukum itu berfokus pada kegagalan pemerintah menyelenggarakan pemilihan penuh setelah gangguan oleh pemerotes yang menyebabkan komisi pemilihan tak mengumumkan hasil-hasilnya sampai kertas-kertas suara dihitung di semua konstituensi.
"Pemerintah gagal mengadakan pemilihan pada hari yang sama. Ini merupakan upaya untuk meraih kekuasaan secara tidak konstitusional," katanya. Pengacara itu mengatakan dia mengajukan petisi atas dasar pribadi.