REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Undang-Undang Internet baru Turki menimbulkan "keprihatinan serius" atas kontrol pemerintah dan akses publik terhadap informasi, kata Komisi Eropa, Kamis.
"Hukum ini meningkatkan kekhawatiran serius di sini. Peraturan ini dalam bentuk yang sekarang memperkenalkan beberapa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi," kata juru bicara Komisi Peter Stano.
"Masyarakat Turki layak mendapatkan informasi lebih lanjut dan lebih transparan, bukan pembatasan lagi."
Karena Turki adalah calon anggota Uni Eropa, hukum itu "perlu direvisi sesuai dengan standar Eropa," kata Stano dalam konferensi pers.
Uni Eropa telah menjelaskan beberapa kali bahwa peraturan ini dan perubahan hukum baru lainnya harus memenuhi norma-norma Eropa, kata Stano, juru bicara untuk Komisaris Perluasan Uni Eropa Stefan Fuele yang memimpin pembicaraan tentang keanggotaan Turki di Uni Eropa.
"Isu-isu ini secara teratur dimunculkan dan dibahas ketika Komisaris bertemu rekannya dari Turki, ... kita membahas masalah ini terus-menerus, " katanya.
Brussels "memantau dengan seksama" apakah Turki memenuhi kriteria keanggotaan, ia menambahkan.
Parlemen di Ankara meloloskan undang-undang baru pada Rabu, yang memicu tuduhan segar jika Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan menindak pers dan kebebasan lainnya untuk menghentikan penyelidikan korupsi yang sangat merusak yang melibatkan beberapa sekutu terdekatnya.
Peraturan baru itu memungkinkan instansi pemerintah, Kepresidenan Telekomunikasi Komunikasi ( TIB ), untuk memblokir akses ke laman-laman tertentu tanpa perintah pengadilan jika mereka dianggap melanggar privasi atau memiliki konten yang dinilai "menghina".
TIB juga akan dapat meminta 'komunikasi dan informasi lalu lintas dari penyedia layanan yang akan diwajibkan untuk menjaga data pengguna selama dua tahun, sekali lagi tanpa perintah pengadilan.
Para kritikus menyebut langkah-langkah itu, selain memberikan dampak domestik, juga akan membuat pembicaraan yang sudah sulit terkait keanggotaan Uni Eropa akan lebih bermasalah.