Sabtu 08 Feb 2014 03:00 WIB

FARC Tolak Gencatan Senjata Selama Pemilu Kolombia

Tentara Pembebasan Nasional (ELN) Kolombia.
Tentara Pembebasan Nasional (ELN) Kolombia.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kelompok gerilya FARC hari Jumat menyatakan tidak akan melaksanakan gencatan senjata selama pemilihan umum legislatif bulan depan kecuali jika pemerintah Kolombia setuju melakukan hal itu.

Presiden Juan Manuel Santos berulang kali menolak seruan FARC untuk gencatan senjata dua pihak, dengan alasan kelompok itu akan memanfaatkan momen tersebut untuk menyatukan diri lagi.

FARC, yang sedang mengadakan perundingan dengan pemerintah Kolombia di Havana, telah lama mendorong gencatan senjata dan dalam dua kesempatan, kelompok gerilya kiri itu menghentikan operasi serangan secara sepihak.

Namun, pemerintah Kolombia berulang kali menolak penghentian permusuhan tanpa tercapai perjanjian perdamaian yang menyeluruh.

Andres Paris, seorang anggota delegasi FARC pada perundingan di Havana, mengatakan, tidak ada rencana bagi gencatan senjata sepihak selama pemilihan umum 9 Maret. "Kami siap melakukan gencatan senjata bilateral," katanya.

Pemilu legislatif itu akan menjadi ujian penting bagi Santos, yang akan mengupayakan jabatan kedua dalam pemilihan presiden pada 25 Mei.

Selama lebih dari setahun, pemerintah Santos dan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) melakukan perundingan perdamaian di Kuba dengan tujuan mengakhiri konflik terlama Amerika Latin itu.

Dari lima poin agenda, kedua pihak sejauh ini baru mencapai dua kesepakatan -- reformasi tanah dan keikutsertaan kelompok pemberontak itu dalam politik jika mereka mengakiri perang yang telah berlangsung hampir 50 tahun. Masalah-masalah lain yang diagendakan adalah perdagangan narkoba, ganti-rugi korban perang dan diakhirinya konflik.

FARC untuk pertama kali telah mengakui sebagian tanggung jawab atas pertumpahan darah puluhan tahun, yang mengisyaratkan perubahan berarti dalam sikap mereka karena selama ini kelompok itu tetap mengklaim bahwa anggota-anggotanya menjadi korban penindasan pemerintah.

Pemerintah Kolombia dan FARC memulai dialog di Oslo, ibu kota Norwegia, pada 18 Oktober 2012 yang bertujuan mengakhiri konflik setengah abad yang telah menewaskan ratusan ribu orang. Perundingan itu dilanjutkan sebulan kemudian di Havana, Kuba.

Tiga upaya sebelumnya untuk mengakhiri konflik itu telah gagal.

Babak perundingan terakhir yang diadakan pada 2002 gagal ketika pemerintah Kolombia menyimpulkan bahwa kelompok itu menyatukan diri lagi di sebuah zona demiliterisasi seluas Swiss yang mereka bentuk untuk membantu mencapai perjanjian perdamaian.

Kekerasan masih terus berlangsung meski upaya-upaya perdamaian dilakukan oleh kedua pihak.

FARC, kelompok gerilya kiri terbesar yang masih tersisa di Amerika Latin, diyakini memiliki sekitar 9.200 anggota di kawasan hutan dan pegunungan di Kolombia, menurut perkiraan pemerintah. Kelompok itu memerangi pemerintah Kolombia sejak 1964.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement