Sabtu 15 Feb 2014 18:43 WIB

Menlu Thailand Kecam Komisaris Pemilu karena "Terlalu Banyak Bicara"

Bendera Thailand
Foto: blogspot.com
Bendera Thailand

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Menteri Luar Negeri sementara Thailand Surapong Tovichakchaikul Sabtu mengecam komisaris pemilihan umum "terlalu banyak berbicara" dan hanya membingungkan orang asing mengenai masalah pemilu di negara itu.

Dalam konferensi pers, Surapong mengecam Komisaris Pemilihan Somchai Srisuthiyakorn karena "terlalu banyak berbicara" mengenai pemilu 2 Februari lalu dan pemungutan suara awal yang hanya membingungkan puluhan diplomat asing, yang baru-baru ini diundang untuk briefing oleh lembaga pemilu.

Berbicara kepada para diplomat, Somchai mengatakan bahwa pemerintahan pasca-pemilu tidak mungkin diatur selama enam bulan ke depan kecuali pemerintah sementara telah mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin anti-pemerintah, para pengunjuk rasa anti-pemilu, untuk mengakhiri protes jalanan berkepanjangan mereka.

Surapong mengatakan, komisaris tidak seharusnya membuat komentar seperti itu yang bisa berdampak pada kepercayaan asing dalam aturan demokrasi dan stabilitas politik Thailand, sementara sektor pariwisata negara itu dan iklim ekonominya juga tetap dipertaruhkan.

"Urusan luar negeri adalah hal yang sangat rumit berkait tentang orang-orang yang tidak mengerti dan harus menahan diri untuk tidak berbicara terlalu banyak.

"Ini adalah tugas utama menteri luar negeri untuk membicarakan hal itu. Tetapi komentar Somchai tidak melakukan apapun yang baik untuk negara ini. Dia seharusnya berbicara lebih sedikit dan bekerja lebih banyak," kata Surapong frustrasi.

Somchai telah dituduh menyeret kakinya atas upaya untuk mengatur pemilihan sela di daerah-daerah pemilihan yang bermasalah saat ia berulang kali bersikeras bahwa dia tidak melakukannya tanpa dekrit kerajaan kedua yang dikeluarkan oleh pemerintah sementara.

Namun pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri sementara Yingluck Shinawatra menyatakan bahwa keputusan tersebut diperlukan hanya untuk mengulangi apa yang sebelumnya dikeluarkan, dan bahwa badan pemilu bisa melakukan pemilihan sela dengan mandatnya sendiri.

Kedua pihak tampaknya khawatirbahwa mereka mungkin bisa melanggar konstitusi dan undang-undang pemilu mengenai masalah pemilihan sela.

Menurut konstitusi dan undang-undang pemilu, tidak ada pemerintah pasca pemilu yang dapat dibentuk sampai parlemen telah dibuka untuk memilih perdana menteri terpilih.

Tetapi, parlemen hanya bisa dibuka dengan sekurangnya 95 persen dari total 500 legislator terpilih, atau berjumlah 475.

Mengingat gejolak yang secara efektif mengganggu proses pemilihan di ibu kota, beberapa provinsi tengah dan beberapa wilayah selatan, hanya akan ada 472 anggota parlemen, sehingga membutuhkan tiga lagi untuk membuka sidang pleno parlemen pertama.

Para demonstran, yang disutradarai oleh mantan deputi PM Suthep Thaugsuban dan beberapa anggota parlemen mantan Partai Demokrat, secara efektif terus bersuara agar pemilih tidak memberikan suara mereka. Dalam beberapa konstituen selatan, mereka akhirnya melarang kandidat pemilu dari untuk melakukan kegiatan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement