REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Korea Utara (Korut) membantah keras laporan yang dikeluarkan PBB, Senin (17/2). Korut menganggap laporan tersebut berisi kepalsuan yang didukung oleh Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa.
Korut menyampaikan keberatannya dalam dua halaman pernyataan. Dalam pernyataannya Korut menganggap laporan PBB tersebut sebagai alat politik yang bertujuan menyabotase sistem sosialis dan memfitnah negara komunis itu.
Senin lalu Komisi Penyelidikan PBB mengeluarkan laporan setebal 372 halaman. Laporan menyatakan, Korut telah melakukan penyiksaan, pembunuhan dan membuat rakyatnya kelaparan. Laporan bahkan membandingkan apa yang terjadi di Korut sebanding dengan kekejaman di era Nazi.
Laporan tersebut mengancam menyeret kepala keamanan dan bahkan pemimpin tertinggi Korut Kim Jong-un ke pengadilan internasional. Komisi meminta para penjahat kemanusiaan Korut itu dirujuk ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag.
Ketua Komisi Penyelidikan PBB Michael Kirby mengatakan, apa yang terjadi di Korut bukan kesalahan sesekali yang biasa dilakukan pejabat mana pun di dunia. Tapi ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus dipertanggungjawabkan.
"Kemungkinan lainnya adalah membuat pengadilan ad hoc seperti pengadilan terhadap bekas Yugoslavia," kata Kirby.
Penemuan terhadap laporan ini berasal dari penyelidikan komisi PBB selama satu tahun. Laporan melibatkan kesaksian publik dari pembelot, termasuk mantan penjaga kamp penjara, pada dengar pendapat di Korea Selatan, Jepang, Inggris, dan AS.
Pembelot yang memberikan kesaksian termasuk di antaranya Shin Dong-hyuk. Ia menceritakan pengalaman hidupnya saat melarikan diri dari sebuah kamp penjara.
Kirby menambahkan, jumlah pejabat Korut yang berpotensi bersalah atas kejahatan ini mencapai ratusan orang. Laporan para peneliti mengutip kejahatan yang dilakukan termasuk pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, penculikan, kelaperan dan eksekusi.