REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- John Short, seorang misionaris Australia, ditangkap di Korea Utara setelah ia meninggalkan sebuah pamflet yang mempromosikan agama Kristen di sebuah kuil Buddha, demikian diceritakan teman seperjalanannya dari China pada Kamis.
Menurut cerita Karen, istri John, misionaris berusia 75 tahun itu ditangkap oleh polisi Korea Utara pada Senin (17/2) di hotel tempat ia tinggal selama berada di Pyongyang, dua hari setelah tiba dari Beijing sebagai bagian dari tur kelompok kecilnya ke Asia. Karen mengatakan nasib suaminya sekarang berada di tangan Tuhan.
John ditahan karena diduga mendistribusikan pamflet ajaran agama Kristen berbahasa Korea di sebuah kuil dan mencoba mempengaruhi kepercayaan penduduk sekitar, dimana hal itu dinilai ilegal di Korea Utara, negara yang memandang misionaris asing sebagai orang durhaka yang berniat mengobarkan kerusuhan.
Perusahaan Penyiaran Australia ABC melaporkan bahwa John sedang dalam perjalanan bersama seorang warga China beragama Kristen, Wang Chong, yang sekarang telah kembali ke Beijing. Wang mengatakan John meninggalkan sebuah pamflet yang mempromosikan agama Kristen di sebuah kuil Buddha di Korea Utara.
"Mereka (pemandu lokal) membawa kami ke gunung untuk mengunjungi kuil, dan kami melihat sebuah patung Buddha yang rusak atau dihancurkan oleh seseorang.
Pintu kuil itu rusak juga," katanya.
"Mereka tidak senang karena kami melihat kerusakan itu. Kami mengambil beberapa foto, tetapi mereka meminta kami untuk menghapus foto-foto itu, dan kami menghapusnya," ungkap Wang.
"John percaya pada Tuhan. Saya juga percaya pada Tuhan. Ia tidak merasa damai dalam hatinya maka ia meninggalkan sebuah pamflet yang berkaitan dengan Injil di kuil itu," lanjutnya.
Kemudian, kejadian tersebut dilaporkan oleh para pemandu wisata lokal Korea Utara kepada pejabat keamanan setempat, yang selanjutnya menemukan lebih banyak pamflet di koper John yang ada di hotel.
ABC melaporkan perusahaan tur China yang memesan perjalanan John, BTG, telah berhubungan dengan rekan-rekannya di Korea Utara. Selain itu, karyawan BTG Han Weiping mengatakan John telah mengakui bahwa ia ada di sana untuk lebih dari sekedar jalan-jalan.
"Ketika kami menghubungi agen perjalanan (Korea Utara) DPRK, mereka mengatakan ia (John) telah mengakui bahwa ia pergi ke Korea Utara tidak hanya untuk pariwisata," kata Han. Ia menambahkan bahwa perjalanan itu seharusnya untuk empat hari.
"Penyebaran pamflet itu terjadi pada hari kedua perjalanan kami. Dan pada hari ketiga, mereka dijadwalkan untuk mengunjungi beberapa situs, tetapi orang Australia itu (John) mengatakan dia tidak ingin pergi keluar dan malah ingin tinggal di hotel," ungkapnya.
Hal itu, menurut Han, justru telah meningkatkan kecurigaan para pemandu lokal Korea Utara.
Sementara itu, pemerintah Australia sedang berupaya menangani kasus John melalui Kedutaan Besar Swedia di Pyongyang, yang mewakili kepentingan negara Kangguru itu karena ketiadaan hubungan diplomasi antara Australia dan Korea Utara.
Pemerintah Korut telah berusaha untuk membuka kembali kedutaan besarnya di Canberra tahun lalu, namun hal itu ditolak pihak Australia pada Maret, setelah Korut melakukan uji coba nuklir.
Terkait kasus penahanan John di Korut, Perdana Menteri Australia Tony Abbott pada Kamis memperingatkan para wisatawan Australia untuk selalu mematuhi hukum di negara yang mereka kunjungi.
"Tidak semua negara memiliki sistem hukum atau hukum yang sama seperti di Australia," katanya.