REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wulan Tunjung Palupi
LPPOM MUI siap membantu proses sertifikasi halal.
KUALA LUMPUR — Perkembangan wisata Muslim di Indonesia salah satunya ditentukan banyaknya hotel dan restoran halal. Sebab, wisatawan Muslim akan sangat membutuhkan jaminan halal atas makanan serta fasilitas yang mereka gunakan.
Selama ini, Indonesia dan Malaysia menjadi tujuan wisata Muslim. Namun, menurut Crescentrating’s Halal Friendly Travel Ranking (CRaHFT), Singapura, sejak 2011 Malaysia berada dalam daftar teratas tujuan wisata Muslim dari negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Peringkat ini dibuat berdasarkan survei wisatawan dari negara OKI terkait perspektif mereka mengenai faktor yang membuatnya nyaman dalam melakukan perjalanan. Penilaiannya mencakup aksesibilitas, kenyamanan beribadah, dan kepastian dalam memilih restoran halal.
“Ini bergantung kemauan pelaku usaha perhotelan dan restoran memanfaatkan peluang wisata Muslim,” kata Direktur Lembaga Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim, Selasa (18/2).
Bila mereka bersedia untuk melakukan sertifikasi halal, semakin banyak wisatawan Muslim berdatangan ke Indonesia. Sampai saat ini, hotel halal yang ada di Indonesia masih sedikit. Jumlahnya baru mencapai puluhan.
Restoran halal juga mestinya semakin banyak agar mampu menarik wisatawan Muslim dari mancanegara. Di Malaysia, hotel-hotel besar mengantongi sertifikat halal. Konsumen non-Muslim tak masalah dengan status ini.
Menurut Lukman, itu pertanda di negeri jiran tersebut sertifikasi halal bukan lagi bersifat sukarela, melainkan wajib. Berbeda dengan di Indonesia, sertifikasinya sukarela. Ia mengakui, pemerintah memiliki niat besar mengembangkan wisata Muslim.
Mereka membuat panduan layanan, baik di hotel maupun restoran yang bisa menopang wisata Muslim. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menjalankan kebijakan sama dengan pemerintah pusat. “Kami juga siap membantu soal sertifikasi halal hotel dan restoran.”
Tantangan global juga mengadang pengembangan wisata Muslim. Di antaranya, pemeringkatan di industri perhotelan. Hotel yang tak menyediakan alcohol, tak mendapatkan status bintang lima. Paling tinggi hanya bintang empat.
“Kita perlu mempertanyakan lagi standar pemeringkatan ini,” ujar Zulkifly Said, Dirjen Islamic Tourism Centre (ITC) Malaysia dalam Joint Seminar on Islamic Tourism (JoSIT), Selasa. Sertifikasi halal yang dimiliki hotel pun perlu diperjelas kriterianya.
Sebab, banyak hotel yang sertifikat halalnya untuk dapur saja. Padahal, ruang makan atau alat untuk membersihkannya masih bercampur. Ia mengatakan, besarnya pasar wisata Muslim juga memicu negara-negara non-Muslim turut berlomba mengembangkannya.
Ini merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari. “Di sisi lain justru dampaknya baik, mereka bisa membuat segmen ini semakin dikenal secara global,” kata Zulkifly. Meskipun demikian, mereka sering salah kaprah dengan standar halal bagi Muslim.
Kepala Administrasi Sertifikasi Halal MUI Nur Wahid mencontohkan penggunaan istilah Muslim food dan halal food. Di Cina, ada yang menganggap Muslim food adalah makanan yang biasa dikonsumsi Muslim.
“Misalnya, mereka menyediakan kari atau daging sapi, padahal daging yang mereka sediakan bukanlah daging halal,” ujar Nur Wahid.
Mereka beranggapan daging sapi merupakan makanan yang bisa dikonsumsi Muslim meskipun cara penyembelihannya tak jelas.