REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah
Nabi Muhammad SAW pernah mengisyaratkan mengenai perluasan Masjidil Haram. Menurut Direktur Lembaga Kajian dan Studi Ilmu Peradaban Islam Cahaya Siroh Budi Ashari, dalam perluasan ke kanan dan kiri ini ada yang dikorbankan.
Kalau memang tak ada mudharatnya dan bisa diabadikan, tak masalah situs sejarah di sekitar Masjidil Haram diabadikan. ‘’Saya tidak bermaksud menyinggung kalangan arkeologi. Ketika digali itu menarik, tetapi Islam punya ukuran,’’ kata Budi, Rabu (19/2).
Contohnya anggur. Buah anggur sangat bermanfaat, tetapi ketika berubah menjadi khamr sifatnya haram karena banyak mudharatnya.
Islam, kata Budi menjelaskan, tak mempermasalahkan penghancuran situs sejarah kalau kemudian melahirkan budaya syirik.
Pada zaman Umar bin Khattab, ada sebuah pohon yang sangat penting karena di bawah pohon itu Nabi dibaiat. Di sana juga Perjanjian Hudaibiyah terjadi. Bahkan, pohon tersebut disebutkan di dalam Alquran.
Ini pohon istimewa, tetapi ditebang oleh Umar karena mudharatnya sangat besar. ‘’Banyak orang datang meminta keselamatan dan akhirnya musyrik,’’ ujar Budi. Soal situs sejarah yang tergusur juga harus ada informasi valid.
Menurut dia, dulu ada ulama besar di Madinah ditunjukkan peta kuburan sahabat Nabi Muhammad SAW. Ulama tersebut menyatakan itu tak benar. ‘’Di Indonesia beredar informasi ada bekas makam ini, makam itu, tetapi tidak ada klarifikasi.’’
Budi menegaskan, perluasan Masjidil Haram bertujuan agar jamaah merasa nyaman. Pada sekitar 2000-2001 saat ia ke Makkah, jauh sekali perbedaannya. Saat iktikaf untuk berselonjor tidak bisa karena begitu padatnya orang.
Sekarang diperluas supaya orang nyaman. Selain itu, perluasan dapat menampung lebih banyak jamaah haji. Bayangkan saja, kata Budi, antrean haji sekarang masih sangat panjang. Bisa mencapai 10 tahun calon jamaah haji berangkat ke Tanah Suci karena panjangnya antrean.
Terkait jam menara, jelas dia, itu adalah wakaf. ‘’Itu wakaf dari keluarga ibu Raja Fahd. Begitu juga untuk operasional Masjidil Haram,’’ kata Budi.