REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Panglima militer Thailand Jenderal Prayuth Chan-ocha pada Senin mendesak pemerintah sementara dan penentang mengadakan pembicaraan guna mencari penyelesaian secara damai atas kebuntuan politik di negara itu.
Sangat mendesak bahwa pihak bertikai harus menyelesaikan konflik melalui perundingan dan tanpa kekerasan lebih lanjut, yang menyebabkan kerusakan parah pada negara, kata Prayuth seperti dikutip "Bangkok Post".
Prayuth membuat pernyataan itu setelah dua serangan di lokasi protes menewaskan empat orang, termasuk tiga anak-anak, dan melukai puluhan orang lainnya selama akhir pekan.
Dia juga menepis kemungkinan intervensi militer, yang banyak dispekulasikan dengan serangan mematikan.
Campur tangan militer bisa menyebabkan lebih banyak kekerasan dan pengabaian konstitusi, kata Prayuth.
Dia menambahkan, tentara tidak memihak, dan tidak akan duduk diam atau menonton penyerang lolos dengan kekejaman mereka.
Ia juga mendesak pemerintah sementara untuk segera mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas serangan itu.
Sebanyak 20 orang tewas dan 718 terluka dalam kekerasan politik di Bangkok sejak 30 November tahun lalu, menurut angka resmi yang ditunjukkan pada Senin.
Dia menegaskan bahwa pihak militer tidak mempunyai rencana campur tangan dalam krisis politik saat ini dan mendesak pemerintah serta penentang untuk berdialog.
Dalam pidato langka dan disiarkan stasiun televisi setempat, Jenderal Prayuth mengatakan ada lebih banyak kelompok terlibat dalam unjuk rasa itu daripada yang terjadi pada 2010 sehingga sulit untuk mengetahui siapa yang berada di pihak mana.
Militer, yang memadamkan gerakan protes pada tahun 2010, telah melakukan percobaan dan kudeta sejak Thailand menjadi kerajaan konstitusional pada 1932.
Militer mengkudeta pemerintahan Thaksin Shinawatra, kakak Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, pada 2006, tetapi belum menunjukkan campur tangannya kali ini.
Yingluck, yang menjadi sasaran unjuk rasa menentang pemerintah di Bangkok, juga menyerukan dialog untuk menyelesaikan krisis, yang telah berlangsung beberapa bulan, dengan jalan dan persimpangan di Bangkok, ibu kota Thailand, dihalangi oleh tenda-tenda pengunjuk rasa.
"Sudah waktunya semua pihak untuk berbicara satu sama lain. Banyak orang meminta saya mundur tetapi saya bertanya, apakah pengunduran diri bisa menjadi jawaban? Apa yang terjadi jika menimbulkan kevakuman kekuasaan?" kata dia.
Perdana menteri itu, yang berada di luar kota, pada Senin mengesampingkan mundur kendati serangkaian serangan mematikan terjadi untuk menekan pemerintahannya.