Rabu 26 Feb 2014 06:49 WIB

Ukraina Terancam Terbelah Jadi 2 Negara

Demonstran antipemerintah Ukraina melemparkan ban menghadapi polisi antikerusuhan di Independence Square, Kiev, Rabu (19/2).
Foto: Reuters/Vasily Fedosenko
Demonstran antipemerintah Ukraina melemparkan ban menghadapi polisi antikerusuhan di Independence Square, Kiev, Rabu (19/2).

REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Presiden sementara Ukraina Oleksandr Turchynov pada Selasa memperingatkan "tanda-tanda bahaya" pemisahan diri di tengah-tengah kekhawatiran bahwa kawasan-kawasan di bagian timur yang pro Rusia dapat memicu usaha pemisahan, sementara negara itu berusaha menyelesaikan krisisnya yang terburuk pasca Soviet.

"Di beberapa kawasan Ukraina ada isyarat-isyarat sangat berbahaya untuk memisahkan diri," kata Presiden Turchynov kepada parlemen.

Presiden sementara itu mengatakan dia berkonsultasi dengan pasukan keamanan mengenai isu tersebut. "Ini perlu segera diatasi agar tak berkembang," katanya, tanpa memberikan khusus atau lokasi khusus.

Negara-negara Barat telah memperingatkan Rusia untuk menghormati integritas teritorial Ukraina setelah penggulingan Presiden Viktor Yanukovych sekutu Kremlin akhir pekan lalu menyusul pembunuhan sejumlah pengunjuk rasa di Kiev.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pada Selasa menyampaikan retorika Moskow, dengan mengonfirmasi "sikap tidak campur tangan Rusia dalam urusan internal Ukraina". Perubahan politik di Ukraina terjadi setelah protes-protes selama beberapa bulan yang semula dipicu oleh keputusan Yanukovych mengalihkan pakta bersejarah dengan Uni Eropa ke Rusia.

Revolusi yang cenderung mendukung Barat telah memperoleh dukungan dari penduduk yang berbahasa Ukraina tapi mereka yang berdomisili di bagian timur, sedikitnya di jantung industri di kawasan itu, tampak marah oleh perubahan-perubahan. Sekitar 10.000 orang Ahad memprotes perkembangan-perkembangan di Kiev di pelabuhan kedua terbesar di Ukraina, Sevastopol, di kawasan Crimea yang pro Moskow, menyerukan Rusia untuk campur tangan.

Kawasan itu merupakan pangkalan armada Laut Hitam Rusia. Sementara itu Moskow berjanji pada Selasa pihaknya tidak akan campur tangan dalam krisis di Ukraina tetapi menyatakan negara itu hendaknya jangan dipaksa untuk memilih Rusia atau Barat.

"Kami konfirmasikan sikap yang sudah menjadi prinsip kami untuk tidak campur tangan dalam urusan internal Ukraina dan mengharapkan siapa pun mengikuti logika yang sama," kata Menlu Lavrov.

"Kami tertarik Ukraina menjadi bagian keluarga Eropa," kata dia setelah pembicaraan dengan mitranya dari Luxemburg, Jean Asselborn. Tetapi dia menambahkan, "Kami setuju bahwa ini berbahaya dan kontraproduktif untuk memaksa Ukraina memilih apakah kamu bersama kami atau bertentangan dengan kami."

Pernyataannya menyiratkan kemungkinan melunaknya sikap Moskow setelah pernyataan-pernyataan keras oleh kementerian Lavrov sendiri dan Perdana Menteri Dmitry Medvedev pada Senin. Medvedev telah menuding kepemimpinan baru Ukraina melakukan "pemberontakan bersenjata" dan mengatakan tak ada seorangpun bagi Moskow untuk berkomunikasi di Kiev.

Presiden Vladimir Putin masih diam atas perubahan rezim di bekas repoublik Soviet itu dan situasi di Ukraina tidak disebutkan ketika saluran-saluran negara Rusia mewawancarainya di Sochi Selasa. Asselborn mengeluarkan kata-kata yang bersifat merujukkan dengan mengatakan Rusia dan Ukraina perlu memelihara hubungan historis.

sumber : Antara/ AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement