REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI-- Kekerasan di Sudan Selatan yang dilanda perang makin memburuk, kata badan keamanan terkemuka tetangga Kenya memperingatkan Selasa, mengutuk "pengabaian total" oleh pasukan yang berperang untuk kesepakatan gencatan senjata yang dibantu penengah bulan lalu.
Ribuan orang telah tewas dan hampir 900.000 lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka setelah lebih dari dua bulan pertempuran antara pasukan pemberontak dan pemerintah, yang didukung oleh
pasukan dari negara tetangga Uganda.
Badan pertahanan tertinggi Kenya, Dewan Keamanan Nasional (NSC) - yang dipimpin oleh Presiden Uhuru Kenyatta - menyerukan semua pihak dalam konflik untuk melanjutkan upaya perdamaian yang terhenti, dan memperingatkan "biaya inersia" jika mereka tidak kembali ke perundingan.
"NSC menyatakan keprihatinan mendalam atas sikap militer yang terus dan meningkatkan kegiatan di Sudan Selatan dan total mengabaikan serta melanggar penghentian perjanjian permusuhan," kata badan itu dalam satu pernyataan. NSC juga memperingatkan atas "memburuknya krisis kemanusiaan termasuk peningkatan masuknya para pengungsi".
Puluhan ribu masih berdesakan di markas PBB dalam ketakutan serangan etnis baik dari suku Dinka Presiden Salva Kiir ataupun tentara pendukung mantan wakil presiden Riek Machar Kaum Nuer. Kekejaman telah dilakukan oleh kedua belah pihak, baik di awal bentrokan yang menandai dimulainya konflik di ibu kota Juba pada 15 Desember, atau selama pertempuran berulangkali di kota-kota strategis di seluruh negara kaya minyak tetapi miskin itu.
Kenya juga memerintahkan 300 tentara tambahan akan dikirim untuk bergabung dengan pasukan penjaga perdamaian PBB di Sudan Selatan, untuk mengambil kontribusi total 1.000 tentara. Kenya adalah perantara utama pembicaraan damai yang lama berlangsung yang mengakhiri Perang saudara Sudan 1983-2005, yang menjadikan pemberontak selatan - yang kemudian bergabung dengan Sudan - melawan pemerintah di Khartoum.