Rabu 26 Feb 2014 17:49 WIB

Rusia Protes Rencana Kebijakan Bahasa di Ukraina, Kenapa?

Rep: Gita Amanda/ Red: Bilal Ramadhan
Demonstran antipemerintah Ukraina melemparkan ban menghadapi polisi antikerusuhan di Independence Square, Kiev, Rabu (19/2).
Foto: Reuters/Vasily Fedosenko
Demonstran antipemerintah Ukraina melemparkan ban menghadapi polisi antikerusuhan di Independence Square, Kiev, Rabu (19/2).

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW-- Rusia menuntut pengawas demokrasi Eropa, Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasa Eropa (OSCE) mengutuk apa yang digambarkannya sebagai kenaikan sentimen nasional dan neo-fasis di barat Ukraina. Tuntutan ini menanggapi rencana pelarangan penggunaan bahasa Rusia di negara tersebut.

Kantor berita Ria Novosti melaporkan, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menolak rencana Ukraina yang mencoba menghapuskan penggunaan bahasa Rusia. Media Ukraina pada Ahad (23/2) melaporkan, rancangan undang-undang baru Ukraina tengah mempertimbangkan bahasa Ukraina sebagai satu-satunya bahasa resmi.

Bahasa Rusia saat ini diakui sebagai bahasa resmi bagi sekitar 10 persen populasi di Ukraina. Negara tersebut terbagi menjadi Ukraina Barat yang menggunakan bahasa Ukraina dan Timur yang menggunakan bahasa Rusia. Namun banyak pula yang menggunakan bahasa campuran, dikenal dengan bahasa 'surzhyk'.

Lavrov mengatakan, usulan pembatasan penggunaan bahasa menyinggung masalah kebebasan berekspresi. Ini juga menurutnya, dapat digunakan untuk menutup paksa partai politik yang tak diinginkan. "Lavrov meminta OSCE, tegas mengutuk munculnya nasionalis dan sentiman neo-fasis di barat negara itu," ujar pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Rusia.

Lavrov yang bertemu dengan Sekertaris Jenderal OSCE Lambreto Zannier, pada Selasa (25/2), mengatakan organisasi harus mengutuk aturan yang melarang penggunaan bahasa Rusia. Terlebih aturan yang menyatakan penduduk berbahasa Rusia bukan warga negara Ukraina.

Usulan legislatif terkait pembahasan penggunaan bahasa Rusia terjadi setelah pemecatan Presiden Ukraina Viktor Yanukovich. Penyingkiran Yanukovich yang pro-Rusia, dikhawatirkan akan memunculkan diskriminasi pada masyarakat etnis Rusia.

Yanukovich selama ini memiliki basis pendukungnya di wilayah timur, dimana kebanyakan masyarakatnya berbahasa Rusia. Sejak Yanukovich digulingkan, Rusia menjadi semakin khawatir dengan langkah pareleman Ukraina. Moskow berpendapat gerakan untuk mengembalikan bahasa Ukraina sebagai satu-satunya bahasa resmi seperti menghukum Rusia.

Banyak warga berbahasa Rusia di selatan dan timur Ukraina memprotes usulan pemerintah sementara.Di wilayah Crimea, pada Selasa, sejumlah orang mengganti bendera Ukraina dengan bendera Rusia di sebuah bangunan pemerintah.

Presiden sementara Ukraina Olexander Turchynov sebelumnya menyatakan keprihatinan akan ancaman separatisme di Ukraina. Mengingat, pemerintahan baru di Kiev terus menghadapi protes dari oposisi di wilayah Ukraina yang berbahasa Rusia.

Turchynov mengatakan akan bertemu lembaga penegak hukum untuk membahas resiko separatisme. Terutama di daerah dengan populasi etnis Rusia yang besar. "Separatisme adalah ancaman serius," kata Turchynov seperti dikutip BBC News.

Di tengah permasalahan separatisme yang mengancam Ukraina, Menteri Dalam Negeri Ukraina Arsen Avakov baru saja membubarkan pasukan polisi elit Berkutnya. Pasukan elit tersebut dituduh bersalah atas kematian demonstran. Avakov mengatakan, rincian lebih lanjut terkait pembubaran pasukan tersebut akan dijelaskan pada Kamis (27/2).

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement