REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Dua mahasiswa Indonesia mendapat penghargaan Hadi Soesastro Australia Award 2014. Nama Hadi Soesastro, salah seorang pendiri lembaga pemikir CSIS di Indonesia, digunakan sebagai nama penghargaan yang diberikan oleh Australia setiap tahunnya kepada dua mahasiswa yang sedang belajar di benua kangguru.
Salah seorang penerima penghargaan itu adalah Bimo Wijayanto, pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, yang sedang menempuh pendidikan untuk PhD dari Universitas Canberra.
Kepada ABC, Bimo mengaku kaget ketika sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan thesis, ia diberitahu bahwa ia mendapat award tersebut.
"Saya menerima penghargaan ini di tengah-tengah kesibukan bulan terakhir harus menyelesaikan thesis PhD. Dan, alhamdullilah, sangat surprise sekali," katanya.
Hadi Soesastro Australia Award diberikan kepada mahasiswa PhD yang sudah hampir menyelesaikan studinya di bidang pembangunan, hubungan internasional dan ekonomi. Bidang yang ditekuni Bimo adalah pajak, yang berarti perpaduan antara ekonomi dan pembangunan.
Para penerima penghargaan ini mendapat uang 25 ribu dolar atau senilai kira-kira 250 juta rupiah. Ketika mengajukan proposalnya, mahasiswa harus menjelaskan kegiatan apa yang akan mereka lakukan dengan dana tersebut.
"Itu persyaratan dari pengajuan proposal untuk Hadi Soesastro Prize. Apa kegiatan yang akan kita laksanakan dengan pendanaan 25-ribu dolar itu, maksimal enam bulan setelah penyelesaikan PhD," jelasnya.
Bimo sendiri mengajukan proposal untuk melakukan tiga hal, yaitu memperpanjang risetnya, mengikuti kursus mengenai perpajakan di Amsterdam dan seminar di Sydney.
"Yang saja ajukan, adalah mengadakan perpanjangan riset saya. Jadi saya bikin tiga model, dan ini model keempat yang saya bikin. Tiga model itu lebih kepada assessment kebijakan pajak," tutur Bimo.
"Sedangkan dalam model keempat ini, dengan menggunakan data untuk tiga model sebelumnya, saya berusaha untuk melihat alternatif pengukuran kemiskinan menggunakan data mikro yang berbeda dengan sebelumnya," tambahnya.
Ia menambahkan, "Untuk aktivitas lain yang mereka sebut profesional engagement, saya mengajukan satu short course mengenai perpajakan orang-orang kaya di IBFD di Amsterdam."
"Dan yang ketiga adalah mengikuti seminar di Sydney mengenai bagaimana akuntabilitas atau trust dari wajib pajak akan berpengaruh pada akuntabilitas otoritas perpajakan di satu negara," kata Bimo lagi.
Setelah menyelesaikan studinya, rencana Bimo ke depan untuk Indonesia adalah berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan pajak yang lebih baik agar bisa meningkatkan kepatuhan membayar pajak secara sukarela.
Menurut dia, Indonesia sangat tergantung struktur APBN-nya di sisi penerimaan dari perpajakan. Trend itu sudah mulai sejak reformasi pertama tahun 1983 karena kita sudah tidak bisa bergantung pada sumber daya alam, dan itu berkelanjutan sampai reformasi terakhir 2008.
"Jadi semakin signifikan penerimaan pajak, ya otomatis strategi yang harus dibikin oleh institusi kami ya harus semakin bisa membuat tingkat kepatuhan naik secara sukarela, karena memang basisnya adalah kepatuhan sukarela," jelasnya. "Mudah-mudahan dengan riset saya, kita bisa mengarah ke sana."
Bimo lahir di Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 5 Juli 1977. Pada usia delapan tahun, ia pindah ke Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Ekonomi UGM.
Sebelum bergabung dengan Direktorat Jenderal Pajak, ayah tiga anak ini sempat dua tahun bekerja sebagai auditor di PricewaterhouseCoopers. Pendidikan S2-nya ditempuh di Universitas Queensland, sebelum melanjutkan PhD di Universitas Canberra.