REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH-- Desakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk memperoleh pengakuan Palestina buat Israel sebagai sebuah negara bertujuan menghindari tercapainya perdamaian menyeluruh dengan Palestina, kata juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Selasa (4/3).
"Tuntutan semacam itu dimaksudkan untuk mengulur waktu dan menyabot perundingan perdamaian," kata Nabil Abu Rdeinah di dalam satu pernyataan, demikian laporan kantor berita resmi Palestina, Wafa.
Abu Rdeinah menyatakan permintaan Netanyahu tersebut ditolak oleh rakyat Palestina dan bangsa Arab, demikian laporan Xinhua yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu pagi. Di dalam pidato selama kunjungannya baru-baru ini ke Washington, Amerika Serikat, Netanyahu kembali mengeluarkan seruan kepada Abbas agar mengakui Israel sebagai sebuah negara.
Netanyahu, yang berpidato di depan peserta konferensi tahunan AIPAC, mengatakan ia siap membuat "perdamaian bersejarah" tetapi tidak tanpa penerimaan Palestina terkait soal negara itu. "Sudah saatnya pihak Palestina berhenti menolak sejarah," kata dia. Ia mengingatkan kembali masalah utama ketidaksepakatan dalam pembicaraan perdamaian, yang diadakan selama tujuh bulan terakhir.
"Presiden Abbas, akuilah negara (Israel) dan lakukanlah, anda akan beritahu rakyat anda lepaskan fantasi membanjiri Israel dengan pengungsi," kata dia. Netanyahu menyatakan jika saja pihak Palestina mengakui Israel sebagai negara, "konflik akan berakhir".
Sementara itu, Hanan Ashrawi --anggota Komite Pelaksana Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)-- mengatakan kepada Xinhua bahwa tuntutan Netanyahu tak bisa diterima sebab itu bertolak-belakang dengan aspirasi rakyat Palestina untuk memiliki negara demokratis yang mencakup semua agama dan ras.
Ia mengatakan mengakui Israel sebagai negara adalah tindakan diskriminasi terhadap suku Arab di Israel yang bukan orang Yahudi. Pengakuan Palestina atas Israel sebagai negara juga bisa mengakhiri impian ratusan ribu pengungsi Palestina untuk pulang ke rumah yang mereka tinggalkan selama konflik dengan Israel pada 1948.
Pejabat senior Palestian Nabil Shaath mengatakan bahwa tuntutan Netanyahu bagi pengakuan seperti itu, dan sikapnya untuk terus mempertahankan tentara Isrtael di negara Pasletina di masa depan sama sekali ditolak. Pidato Netanyahu sama dengan pengumuman resmi secara sepihak ia mengakhiri perundingan, kata dia.
Israel telah berulang-ulang menyatakan tak akan ada perjanjian perdamaian tanpa menyelesaikan masalah pengakuan dan satu klausul yang berhubungan dengan itu telah dimasukkan ke dalam proposal kerangka kerja Menteri Luar AS John Kerry yang belum dipublikasikan.
Perundingan perdamaian Palestina-Israel dilanjutkan pada Juli lalu, di bawah pengawasan AS. Namun, para perunding mengumumkan dalam berbagai kesempatan bahwa pembicaraan perdamaian sama sekali belum menghasilkan kemajuan nyata.