Jumat 07 Mar 2014 14:57 WIB

Konflik Rusia-Ukraina, Muslim Krimea Trauma

Krimea
Foto: grid.al
Krimea

REPUBLIKA.CO.ID,  KRIMEA -- Konflik yang melibatkan dua 'anak emas' Uni Soviet, Ukraina dan Rusia memicu kekhawatiran komunitas Muslim di Krimea. Sejarah mencatat, mereka adalah komunitas terbuang selama Uni Soviet.

Kekhawatiran itu menjadi beralasan, mengingat Rusia mulai memperlihatkan kekuatannya menduduki wilayah kedaulatan Ukrainan dengan dalih perlindungan terhadap  etnis Rusia yang menetap disana. Buka tidak mungkin, mereka akan kembali mengalami nasib yang sama dengan orang tua mereka.

"Jika ada konflik, sebagai minoritas, kita akan menjadi yang pertama menderita," ucap usein Sarano, 57 tahun, seperti dilansir reuters.com, Jumat (7/3).

Usein mengungkap di masa lalu ia kehilangan keluarga. Ia terpisah karena kepentingan politik biasa. "Kami takut kehilangan keluarga, anak-anak. Ini bisa mnejadi Yugoslavia baru," ucap.

Pekan lalu, Ribuan Muslim Kriema yang kebanyakan dari etnis Tartar mengelar aksi unjuk rasa. Mereka menuntur agar Rusia tidak memecah belah Krimea. Mereka juga memprotes otoritas baru di Kiev, yang hanya mencari masalah dengan Rusia.

"Putin, orang gila yang harus kekuasaan," kata Rustem.

Pada Mei 1944, Muslim Tatar dideportasi dari negeri kelahirannya di Krimea, karena dituduh pemimpin Soviet kala itu, Joseph Stalin. Mereka dituduh mata-mata Nazi. Seluruh penduduk Tatar, yang saat itu berjumlah 200 ribu orang, diangkut dari Krimea menuju Uzbekistan. Soviet menyita mereka, menghancurkan masjid dan mengubahnya menjadi gudang. Ada beberapa masjid yang kemudian dialihfungsikan menjadi museum Atheis.

"Kami ingin tetap menjadi bagian dari Ukraina," ucap Nimatuleyava Khadirova.

Izmirli, warga Krimea, meminta Turki untuk ambil bagian dari mediasi antara Rusia dan Ukraina. "Kami berharap Turki tidak membiarkan Rusia begitu saja leluasa bergerak," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement