REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Qatar menilai Ikhwanul Muslimin (IM) memiliki arti penting, meskipun porsinya tidak besar bagi politik luar negeri serta kestabilan dan keamanan kawasan dalam negeri Qatar.
Pendapat ini diungkapkan Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI), Abdul Mutaali, saat dihubungi Republika, Jumat siang (7/3).
"Status Qatar sebagai negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa tentu mengharuskan Qatar mengambil sikap politik luar negeri yang moderat," tutur Abdul Mutaali yang juga pakar hubungan internasional untuk kawasan Timur Tengah ini.
Keemiran Qatar pun, lanjut Abdul Mutaali, selama ini dikenal oleh publik internasional sebagai negara yang sangat berminat menjadi jembatan dialog peradaban antara Barat dan Timur, serta antara Islam dan Sekulerisme.
Putra Emir Qatar, lanjut Abdul Mutaali, merupakan anggota Jamaah Tabligh. Jamaah Tabligh relatif tidak bermasalah atau berkonflik dengan kekuatan-kekuatan politik utama di kawasan Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Gerakan Salafi serta Hizbullah.
Situasi keamanan dalam negeri Qatar, papar Abdul Mutaali, juga relatif sangat stabil di kawasan Timur Tengah. Terkait hal ini, Ikhwanul Muslimin merupakan salah satu unsur utama masyarakat yang harus diterima dengan baik.
"Jadi, keenam negara anggota Gulf Countries Club (GCC) memiliki kesepakatan warganya dapat keluar masuk negara-negara GCC tanpa visa," jelas Abdul Mutaali.
Artinya, terang Abdul Mutaali, jika ada kelompok atau aktifis tertentu yang memiliki paspor ganda, tentu akan sngt mudah masuk ke negara GCC yang lain seperti masuk ke Saudi Arabia atau Uni Emirat Arab (UEA).